PESAN
RASULULLAH SEBELUM WAFAT
DETIK DETIK WAFAT NABI MUHAMMAD
Ketika
merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat di
kediaman isteri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah semua berkumpul,
beliau memandang mereka dengan tatapan mata yang sendu. Air mata beliau menitis
tiada berhenti.
Di
tengah tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat-Nya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah
SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah Ta?ala.
Hendaklah Ali memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang
menuangkan air. Kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki,
atau dengan kain putih buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan
jenazahku di tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku.
Kemudian bawalah aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali berselawat kepadaku
adalah Allah Azza wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail bersama
pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan
demi rombongan, dan sembahyangkanlah aku.”
Begitu
mendengar wasiat Nabi, para sahabat tidak kuasa menahan tangis. Mereka
menjerit…..”Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina
kekuatan kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada
siapakah kami kembali?”
Rasulullah
SAW bersabda, “Aku tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk
kamu dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara
ialah Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang
musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kamu kusut,
tuntunlah dengan mengambil i?tibar tentang peristiwa maut.”
Sejak
itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama penyakitnya
semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di kediaman Sayyidah
Aisyah RA untuk menjaga Rasulullah SAW secara bergantian, Rasulullah SAW bangun
dari tempat tidurnya dengan mengenakan ikat kepala, pertanda sakitnya masih
berat.
Didepan
para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah,
saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut
syirik akan menimpa kamu setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kamu saling
berebut dunia, saling hantam memperebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.”
Haudh adalah salah satu telaga di syurga.
Dari
hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan para sahabat mulai cemas.
Suatu hari, Isnin Subuh, sahabat Bilal mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi.
Tapi hingga beberapa waktu Nabi belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah
beliau. Didepan pintu rumah, ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya
Rasulullah.”
Nabi
tidak menjawab, tapi Sayyidah Fatimah RA keluar sambil menjawab salam,
“Alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang demam.”
Mendengar
jawaban itu, Bilal tidak faham. Ia lalu kembali ke masjid, menunggu kedatangan
Nabi sampai langit disebelah timur mulai menguning. Kerana waktu subuh hampir
habis, Bilal kembali kerumah Rasulullah SAW.
“Assalamu’alaika,
ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,”
katanya.
Saat
itu, Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas salam Bilal,
lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu
Bakar supaya menjadi imam sembahyang Subuh. Aku sedang sakit, tidak mampu
bangun.”
Mendengar
jawaban itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia
bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abu
Bakar. Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah
Rasulullah SAW selalu memimpin sholat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran
dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini
mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana
subuh itu menjadi murung.
Sampai
siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah
SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah
terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.
Tiba
di masjid, Nabi sembahyang sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa
berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak
lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan
menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai
kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka
bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain,
Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah
dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi
Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya
aku tidak pernah menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh
Al-Qur?an, dan tidak pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan
oleh Al-Quran”.
Abu
Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan tangis hingga
dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela napas panjang, dan Ali
bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat
berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”
Lelaki
agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata,
sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun
dari mimbar. Sangat pelan kerana lemah.
Segera
setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu
beliau tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan beliau semakin
gawat, sampai-sampai kain pengikat beliau pun terasa panas. Panas yang sangat
tinggi menyebabkan beliau sering tak sedarkan diri.
Melihat
keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah
berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”
Mendengar
tangis putri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah
anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW
berusaha menghibur putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu
juga merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan
penderitaan. Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat
pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Ta?ala untuk
menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta?ala kepada Izrail, “Masuklah kalau
diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan
muncullah di hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi. “Maka
muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan
aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum,
wahai penghuni rumah kenabian….”
“Wa’alaikumussalam.
Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.
“Assalamu?alaika,
ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar
Izrail lagi.
Mendengar
salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya kepada Fatimah,
“Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”
“Seorang
laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan
minta izin untuk masuk. Saya bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia dia
untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba
Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh,
dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah
Fatimah RA menggigil kerana hatinya tergetar
“Izinkan
tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah
SAW.
“Tidak”
“Dialah
penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah
malakul maut.”
Sayyidah
Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi
mendengar suaramu dan memandangi wajah jernihmu?” Sayyidah Fatimah menangis.
Jangan
bersedih dan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula
akan bersamaku di hari kiamat,” sabda Rasul SAW
Mendengar
itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.
“Engkau
datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku
datang untuk berziarah, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau
tidak aku akan kembali.”
“Engkau
datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil
tersenyum.
“Aku
tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil
dia kemari.”
Jibril
tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah kediaman Rasul,
lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa
saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu beliau bersabda, “Jibril, mengapa
berlambat-lambat? Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?”
“Beri
tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu
langit telah terbuka, para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran
ruh Tuan, seluruh gerbang syurga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun
wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita
itu yang kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka
dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Ta?ala berfirman, „Aku
haramkan syurga dimasuki oleh para nabi sampai engkau, Muhammad, masuk terlebih
dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu,
Muhammad, masuk terlebih dahulu?.”
Mendengar
jawaban itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu
hatiku tenang, wahai Jibril.” Beliau merasa tenteram, kerana kaum muslimin
mendapat hak dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir beliau yang sudah
memucat itu menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga beliau tujukan
kepada Malaikat Izrail ketika beliau mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu
melaksanakan tugasnya.
Pada
waktu yang bersamaan suasana gundah gulana menggantung berat di ruangan sempit
itu. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam
menusuk tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika
Malaikat Izrail berancang-ancang untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan
Nabi SAW semakin menghebat ketika nyawa beliau, yang dicabut oleh Izrail dengan
sangat pelan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah beliau
bersimbah peluh. Urat-urat di wajah beliau menegang dari detik ke detik. Sambil
menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat Jibril. Mata Rasulullah
SAW pun basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh,
alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Sayyidah
Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi Thalib, yang berada disamping
Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan Malaikat Jibril memalingkan muka.
“Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?”
tanya Rasul SAW. “Sama sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang tega
menyaksikan Kekasih Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati
melihat Tuan kesakitan?” jawab Jibril tersekat-sekat.
Rasa
sakit itu kian memuncak. Sekujur tubuh Nabi menggigil. Wajah beliau semakin
memucat, urat-uratnya menegang. Dalam keadaan sakit tak tertahankan itu beliau
berdoa, “Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini
hanya kepadaku, jangan kepada umatku.”
Mendengar
sabda Rasul itu, Jibril tersentak. Betapa agung peribadi Rasulullah SAW. Dalam
detik-detik paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan sendiri yang
dimohonkan, melainkan kepentingan umatnya. Andai beliau mohon agar rasa sakit
itu dicabut, pasti Allah SWT mengabulkannya. Namun beliau lebih memilih sebagai
tumbal agar derita itu tidak menimpa umatnya.
Ketika
Jibril menyedari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan sangat santun
menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka napas beliau pun mulai menyesak.
Rasa sakit semakin menghebat. Ketika itulah, lelaki agung itu menengok ke arah
sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan suara lirih dan pandangan sayu,
“Ushikum bishsembahyangi wa ma malakat aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu
untuk mendirikan sholat, dan aku wasiatkan kepada kamu orang-orang yang menjadi
tanggungan kamu).”
Sejenak
kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah kritis. Para sahabat saling
berpelukan lantaran tak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah tubuh Nabi SAW
mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh beliau tidak bergerak-gerak lagi.
Mata beliau pun berkaca-kaca dan menatap lurus ke langit-langit hanya sedikit
terbuka.
Menjelang
akhir hayat beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali
menggerak-gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat
mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil,
“Ummati, ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah,
Rasul Akhir Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta, Sayyidah Aisyah RA,
pada hari Isnin, 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah, bertepatan dengan tarikh 3 Juni
632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka
meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat, membawa cinta
yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan dibawanya sampai
Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai tenggorokan. Pemimpin Besar dan
Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan keluarganya, melainkan
memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”
Sesaat
sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW masih
sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau bersabda, “Wahai umatku, kamu
akan melihat hari yang tidak kamu sukai, iaitu perpecahan dan fitnah dari
berbagai musibah yang akan datang. Akan tetapi hendaklah kamu bersabar sampai
berjumpa denganku di Telaga Haudh kelak…”
Sementara
itu, dari sumber kitab Shahih Bukhari diriwayatkan, pada Isnin subuh itu Nabi
SAW merasa keadaannya mulai membaik. Maka ketika mendengar adzan, beliau
memutuskan untuk pergi ke masjid sekalipun keadaannya masih lemah. Ketika
beliau masuk masjid, sembahyang sudah dimulai. Para sahabat pun menjerit,
mengucapkan, “Subhanallah, subhanallah”, pertanda gembira dan bersyukur
menyaksikan keadaan kesehatan junjungan mereka yang mulai membaik.
Begitu
melihat Nabi datang, para sahabat hampir membatalkan sembahyang. Namun, beliau
memberi isyarat agar mereka meneruskannya.
Sejenak
beliau berdiri menatap mereka dengan bahagia. Wajahnya berseri-seri menyaksikan
ketaatan umatnya. Sampai-sampai Annas bin Malik berkata, “Belum pernah aku
melihat pandangan yang lebih menakjubkan dari wajah Nabi SAW (ketika itu).”
Kemudian beliau tersenyum. Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang menjadi imam sembahyang,
menyedari apa yang terjadi di belakangnya. Yakni, pasti Rasulullah SAW ada di
masjid. Maka tanpa menoleh, ia pun mundur. Tetapi, Nabi segera memegang
pundaknya dan mendorongnya maju agar terus sebagai imam, sementara Nabi SAW
sembahyang di sebelah kanan Abu Bakar dalam kedudukan duduk.
Selesai
sembahyang, Nabi kembali ke rumah Sayyidah Aisyah RA dipapah oleh Fadlal dan
Tsawban, sementara Ali dan Abbas mengikuti dari belakang. Sampai di rumah, Nabi
SAW kembali ke tempat tidur, berbaring di pangkuan isteri tercintanya itu. Dan
ternyata, sembahyang subuh tadi adalah yang terakhir kali Nabi SAW sembahyang
berjamaah dengan para sahabatnya. Ketika itulah segenap kekuatan Nabi SAW
melemah.
Saat
Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke dalam kamar sambil membawa siwak (sikat gigi
dari kayu arak), Sayyidah Aisyah RA melihat Nabi SAW sepertinya
menginginkannya. Maka ia pun meminta siwak itu, membersihkannya, lalu
memberikannya kepada ayahanda tercinta. Lalu beliau pun membersihkan gigi
dengan cekatan, sekalipun keadaannya cukup lemah. Tidak lama kemudian kesedaran
Rasulullah SAW hilang. Sayyidah Aisyah RA mengira beliau tengah menghadapi
sakaratul maut. Tapi, sekitar satu jam kemudian, beliau membuka mata. Sayyidah
Aisyah RA teringat Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun
yang dicabut nyawanya sebelum ia ditunjukkan tempatnya di syurga.” Sayyidah
Aisyah RA pun faham, inilah saat sakaratul maut itu.
Sejenak
kemudian, Nabi SAW bersabda dengan suara bergumam, “Dan barang siapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, iaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih.
Mereka itulah sahabat yang paling baik.” – Surah An-Nisaa (4): 69. Setelah itu,
beliau kembali bergumam, “Ya Allah, aku memilih bersama Yang Maha mulia.”
Setelah
itu, kepala Nabi SAW beransur-ansur terasa bertambah berat di pangkuan Sayyidah
Aisyah RA, sehingga para isteri yang lain menangis. Sayyidah Aisyah RA lalu
membaringkan kepala beliau di bantal, kemudian menangis bersama isteri Nabi SAW
yang lain.
Dalam
Sahih Bukhari dikisahkan, begitu mendengar Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar
As-Siddiq berlari menuju rumah kediaman Sayyidah Aisyah RA. Namun jasad Nabi
SAW telah membujur kaku. Ketika menyingkap kain yang menutup tubuh Nabi SAW, ia
menangis sambil memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan jenazah Rasulullah,
Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak
mewangi. Ketika wafat pun, tubuh Tuan tetap wangi.”
Ya…
Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak mewangi sampai hari
kiamat.
Ketika
merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat di
kediaman isteri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah semua berkumpul,
beliau memandang mereka dengan tatapan mata yang sendu. Air mata beliau menitis
tiada berhenti.
Di
tengah tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat-Nya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah
SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah Ta?ala.
Hendaklah Ali memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang
menuangkan air. Kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki,
atau dengan kain putih buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan
jenazahku di tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku.
Kemudian bawalah aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali berselawat kepadaku
adalah Allah Azza wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail bersama
pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan
demi rombongan, dan sembahyangkanlah aku.”
Begitu
mendengar wasiat Nabi, para sahabat tidak kuasa menahan tangis. Mereka menjerit…..”Ya
Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan kami, serta
penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada siapakah kami kembali?”
Rasulullah
SAW bersabda, “Aku tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk
kamu dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara
ialah Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang
musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kamu kusut,
tuntunlah dengan mengambil i?tibar tentang peristiwa maut.”
Sejak
itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama penyakitnya
semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di kediaman Sayyidah
Aisyah RA untuk menjaga Rasulullah SAW secara bergantian, Rasulullah SAW bangun
dari tempat tidurnya dengan mengenakan ikat kepala, pertanda sakitnya masih
berat.
Didepan
para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah,
saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut
syirik akan menimpa kamu setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kamu saling
berebut dunia, saling hantam memperebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.”
Haudh adalah salah satu telaga di syurga.
Dari
hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan para sahabat mulai cemas.
Suatu hari, Isnin Subuh, sahabat Bilal mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi.
Tapi hingga beberapa waktu Nabi belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah
beliau. Didepan pintu rumah, ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya
Rasulullah.”
Nabi
tidak menjawab, tapi Sayyidah Fatimah RA keluar sambil menjawab salam,
“Alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang demam.”
Mendengar
jawaban itu, Bilal tidak faham. Ia lalu kembali ke masjid, menunggu kedatangan
Nabi sampai langit disebelah timur mulai menguning. Kerana waktu subuh hampir
habis, Bilal kembali kerumah Rasulullah SAW.
“Assalamu’alaika,
ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,”
katanya.
Saat
itu, Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas salam Bilal,
lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu
Bakar supaya menjadi imam sembahyang Subuh. Aku sedang sakit, tidak mampu
bangun.”
Mendengar
jawaban itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia
bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abu
Bakar. Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah
Rasulullah SAW selalu memimpin sholat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran
dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini
mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana
subuh itu menjadi murung.
Sampai
siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah
SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah
terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.
Tiba
di masjid, Nabi sembahyang sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa
berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak
lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan
menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai
kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka
bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain,
Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah
dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi
Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya
aku tidak pernah menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh
Al-Qur?an, dan tidak pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan
oleh Al-Quran”.
Abu
Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan tangis hingga
dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela napas panjang, dan Ali
bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat
berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”
Lelaki
agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata,
sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun
dari mimbar. Sangat pelan kerana lemah.
Segera
setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu
beliau tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan beliau semakin
gawat, sampai-sampai kain pengikat beliau pun terasa panas. Panas yang sangat
tinggi menyebabkan beliau sering tak sedarkan diri.
Melihat
keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah
berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”
Mendengar
tangis putri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah
anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW
berusaha menghibur putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu
juga merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan
penderitaan. Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat
pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Ta?ala untuk
menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta?ala kepada Izrail, “Masuklah kalau
diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan
muncullah di hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi. “Maka
muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan
aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum,
wahai penghuni rumah kenabian….”
“Wa’alaikumussalam.
Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.
“Assalamu?alaika,
ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar
Izrail lagi.
Mendengar
salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya kepada Fatimah,
“Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”
“Seorang
laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan
minta izin untuk masuk. Saya bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia dia
untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba
Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh,
dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah
Fatimah RA menggigil kerana hatinya tergetar
“Izinkan
tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah
SAW.
“Tidak”
“Dialah
penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah
malakul maut.”
Sayyidah
Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi
mendengar suaramu dan memandangi wajah jernihmu?” Sayyidah Fatimah menangis.
Jangan
bersedih dan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula
akan bersamaku di hari kiamat,” sabda Rasul SAW
Mendengar
itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.
“Engkau
datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku
datang untuk berziarah, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau
tidak aku akan kembali.”
“Engkau
datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil
tersenyum.
“Aku
tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil
dia kemari.”
Jibril
tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah kediaman Rasul,
lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa
saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu beliau bersabda, “Jibril, mengapa
berlambat-lambat? Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?”
“Beri
tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu
langit telah terbuka, para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran
ruh Tuan, seluruh gerbang syurga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun
wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita
itu yang kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka
dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Ta?ala berfirman, „Aku
haramkan syurga dimasuki oleh para nabi sampai engkau, Muhammad, masuk terlebih
dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu,
Muhammad, masuk terlebih dahulu?.”
Mendengar
jawaban itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu
hatiku tenang, wahai Jibril.” Beliau merasa tenteram, kerana kaum muslimin
mendapat hak dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir beliau yang sudah
memucat itu menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga beliau tujukan
kepada Malaikat Izrail ketika beliau mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu
melaksanakan tugasnya.
Pada
waktu yang bersamaan suasana gundah gulana menggantung berat di ruangan sempit
itu. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam
menusuk tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika
Malaikat Izrail berancang-ancang untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan
Nabi SAW semakin menghebat ketika nyawa beliau, yang dicabut oleh Izrail dengan
sangat pelan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah beliau
bersimbah peluh. Urat-urat di wajah beliau menegang dari detik ke detik. Sambil
menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat Jibril. Mata Rasulullah
SAW pun basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh,
alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Sayyidah
Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi Thalib, yang berada disamping
Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan Malaikat Jibril memalingkan muka.
“Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?”
tanya Rasul SAW. “Sama sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang tega
menyaksikan Kekasih Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati
melihat Tuan kesakitan?” jawab Jibril tersekat-sekat.
Rasa
sakit itu kian memuncak. Sekujur tubuh Nabi menggigil. Wajah beliau semakin
memucat, urat-uratnya menegang. Dalam keadaan sakit tak tertahankan itu beliau
berdoa, “Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini
hanya kepadaku, jangan kepada umatku.”
Mendengar
sabda Rasul itu, Jibril tersentak. Betapa agung peribadi Rasulullah SAW. Dalam
detik-detik paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan sendiri yang
dimohonkan, melainkan kepentingan umatnya. Andai beliau mohon agar rasa sakit
itu dicabut, pasti Allah SWT mengabulkannya. Namun beliau lebih memilih sebagai
tumbal agar derita itu tidak menimpa umatnya.
Ketika
Jibril menyedari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan sangat santun
menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka napas beliau pun mulai menyesak.
Rasa sakit semakin menghebat. Ketika itulah, lelaki agung itu menengok ke arah
sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan suara lirih dan pandangan sayu,
“Ushikum bishsembahyangi wa ma malakat aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu
untuk mendirikan sholat, dan aku wasiatkan kepada kamu orang-orang yang menjadi
tanggungan kamu).”
Sejenak
kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah kritis. Para sahabat saling
berpelukan lantaran tak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah tubuh Nabi SAW
mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh beliau tidak bergerak-gerak lagi.
Mata beliau pun berkaca-kaca dan menatap lurus ke langit-langit hanya sedikit
terbuka.
Menjelang
akhir hayat beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali
menggerak-gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat
mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil,
“Ummati, ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah,
Rasul Akhir Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta, Sayyidah Aisyah RA,
pada hari Isnin, 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah, bertepatan dengan tarikh 3 Juni
632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka
meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat, membawa cinta
yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan dibawanya sampai
Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai tenggorokan. Pemimpin Besar dan
Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan keluarganya, melainkan
memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”
Sesaat
sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW masih
sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau bersabda, “Wahai umatku, kamu
akan melihat hari yang tidak kamu sukai, iaitu perpecahan dan fitnah dari
berbagai musibah yang akan datang. Akan tetapi hendaklah kamu bersabar sampai
berjumpa denganku di Telaga Haudh kelak…”
Sementara
itu, dari sumber kitab Shahih Bukhari diriwayatkan, pada Isnin subuh itu Nabi
SAW merasa keadaannya mulai membaik. Maka ketika mendengar adzan, beliau
memutuskan untuk pergi ke masjid sekalipun keadaannya masih lemah. Ketika
beliau masuk masjid, sembahyang sudah dimulai. Para sahabat pun menjerit,
mengucapkan, “Subhanallah, subhanallah”, pertanda gembira dan bersyukur
menyaksikan keadaan kesehatan junjungan mereka yang mulai membaik.
Begitu
melihat Nabi datang, para sahabat hampir membatalkan sembahyang. Namun, beliau
memberi isyarat agar mereka meneruskannya.
Sejenak
beliau berdiri menatap mereka dengan bahagia. Wajahnya berseri-seri menyaksikan
ketaatan umatnya. Sampai-sampai Annas bin Malik berkata, “Belum pernah aku
melihat pandangan yang lebih menakjubkan dari wajah Nabi SAW (ketika itu).”
Kemudian beliau tersenyum. Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang menjadi imam sembahyang,
menyedari apa yang terjadi di belakangnya. Yakni, pasti Rasulullah SAW ada di
masjid. Maka tanpa menoleh, ia pun mundur. Tetapi, Nabi segera memegang
pundaknya dan mendorongnya maju agar terus sebagai imam, sementara Nabi SAW
sembahyang di sebelah kanan Abu Bakar dalam kedudukan duduk.
Selesai
sembahyang, Nabi kembali ke rumah Sayyidah Aisyah RA dipapah oleh Fadlal dan
Tsawban, sementara Ali dan Abbas mengikuti dari belakang. Sampai di rumah, Nabi
SAW kembali ke tempat tidur, berbaring di pangkuan isteri tercintanya itu. Dan
ternyata, sembahyang subuh tadi adalah yang terakhir kali Nabi SAW sembahyang
berjamaah dengan para sahabatnya. Ketika itulah segenap kekuatan Nabi SAW
melemah.
Saat
Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke dalam kamar sambil membawa siwak (sikat gigi
dari kayu arak), Sayyidah Aisyah RA melihat Nabi SAW sepertinya
menginginkannya. Maka ia pun meminta siwak itu, membersihkannya, lalu
memberikannya kepada ayahanda tercinta. Lalu beliau pun membersihkan gigi
dengan cekatan, sekalipun keadaannya cukup lemah. Tidak lama kemudian kesedaran
Rasulullah SAW hilang. Sayyidah Aisyah RA mengira beliau tengah menghadapi
sakaratul maut. Tapi, sekitar satu jam kemudian, beliau membuka mata. Sayyidah
Aisyah RA teringat Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun
yang dicabut nyawanya sebelum ia ditunjukkan tempatnya di syurga.” Sayyidah
Aisyah RA pun faham, inilah saat sakaratul maut itu.
Sejenak
kemudian, Nabi SAW bersabda dengan suara bergumam, “Dan barang siapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, iaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih.
Mereka itulah sahabat yang paling baik.” – Surah An-Nisaa (4): 69. Setelah itu,
beliau kembali bergumam, “Ya Allah, aku memilih bersama Yang Maha mulia.”
Setelah
itu, kepala Nabi SAW beransur-ansur terasa bertambah berat di pangkuan Sayyidah
Aisyah RA, sehingga para isteri yang lain menangis. Sayyidah Aisyah RA lalu
membaringkan kepala beliau di bantal, kemudian menangis bersama isteri Nabi SAW
yang lain.
Dalam
Sahih Bukhari dikisahkan, begitu mendengar Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar
As-Siddiq berlari menuju rumah kediaman Sayyidah Aisyah RA. Namun jasad Nabi
SAW telah membujur kaku. Ketika menyingkap kain yang menutup tubuh Nabi SAW, ia
menangis sambil memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan jenazah Rasulullah,
Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak
mewangi. Ketika wafat pun, tubuh Tuan tetap wangi.”
Ya…
Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak mewangi sampai hari
kiamat.
Anas bin Malik RA bercerita, ketika roh
Rasulullah SAW sampai di dada, Beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada engkau
agar kalian menjaga salat dan apa-apa yang telah diperintahkan kepadamu.”
Ali bin Abi Thalib berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah ketika menjelang saat terakhir, telah menggerakkan
kedua bibir Beliau sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga saya dekat
dengan Rasulullah, seraya Beliau berkata : “Umatku, umatku.”
Apa
kalian pernah berfikir terbuka tentang cerita ini??
Apa
kalian pernah kenal dengan wajah Rasulullah Muhammad?
Apa
kalian pernah tau dimana dia tinggal dan bagaimana dia?
Seberapa
sayang kita dengan beliau??
Rasullullah
ketika wafat masih mengingat kita (umatnya) dia tidak memperdulikan semua pintu
surga terbuka dia tidak memperdulikan semuanya..yang dia perdulikan adalah kita
(umatnya)
Coba
kalian bayangkan apakah Rasulullah kenal dengan kita? Tetapi kenapa beliau
mengakhawatirkan kita??
Karena
beliau takut umatnya berada dalam kesesatan kezaliman dan ke hancuran dan di
murkai oleh Allah
Ayolah
teman jika kalian sayang sama Rasulullah kerjakan apa yang di wajibkan oleh
kalian (perintah dari ALLAH)
Dan
berpegang teguhlah kalian kepada Al-quran dan hadist,,berkumpullah dengan
orang-orang saleh (kiyai – syekh – ulama – imam – ustad) karena sesungguhnya
kalian akan mendapatkan petunjuk..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar