“Sungguh telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan Dia banyak mengingat Allah “
( Al-Ahzab ; 21)
Siapapun yang mengaku dirinya Islam, pasti akan berusaha untuk meneladani cara hidup Rosululloh. Namun masalah yang sering timbul adalah , apakah kita mencontoh nabi Muhammad ;
1. Hanya pada periode
setelah Beliau diangkat sebagai Rosul. Dan fase-fase akhir
kesempurnaan Islam. Fase pelaksanaan syariat Islam secara sempurna.
2. ( Atau) Kita akan memahaminya
secara utuh sebagai anak manusia yang bergulat untuk mencari jalan kepada
Tuhannya. Mulai sejak saat dilahirkan , kemudian dia menjalani masa kecil yang
penuh dengan dinamika suka duka anak manusia yatim piatu lagi papa. Kemudian juga
bagaimana dia beranjak dewasa di tengah kerasnya kehidupan padang pasir, dan
peradaban masyarakat jahiliyah. Selanjutnya dia menikah, berdagang layaknya
manusia biasa. Hingga sampai mendapatkan pencerahan, dan kemudian
diangkat sebagai Rosul.
Pada masa-masa awal kerosulannya,
Beliau membimbing para sahabatnya dengan meletakkan pondasi ketauhidan terlebih
dahulu, sebagai pondasi pelaksanaan syariat di kemudian hari. Fase ini
berlangsung cukup lama.
Kita tahu bahwa pengajaran
ketauhidan diletakkan terlebih dahulu sebelum syariat. Kesiapan mentalitas
manusianya di ‘gembleng’ benar-benar, sehingga pada saatnya nanti para sahabat
akan mampu melaksanakan syariat dengan sempurna.
Sekali lagi, bahwa fase untuk
sampai kepada pelaksanaan kesempurnaan syariat Islam membutuhkan pondasi
keimanan yang kuat terlebih dahulu dari para sahabat itu sendiri.
Nah, bagaimana dengan kondisi
umat sekarang ?. Maka pertanyaan kembali di ulang; Pada fase manakah kita umat
islam mamu mencontoh teladan Rosululloh ? .
Sungguh sangat naïf, jika umat
dipaksa untuk menjalankan syariat secara sempurna tanpa memiliki pondasi
keimanan terlebih dahulu. Palingtidak kedua hal itu haruslah sejalan. Peletakan
pondasi keimanan seiring dengan pelaksanaan syariat itu sendiri.
Islam dari kubu syariat hanya
berorientasi pelaksanaaan syariat sebagaimana contoh Rosululloh saat ketika
Islam sudah sempurna.
Islam kubu hakekat hanya
berorientasi kepada bagaimana kontemplasi pencarian hakekat yang dilakukan
Rosululloh pada masa-masa sebelum kenabiannya.
Kedua kubu ini seperti saling
berseteru, saling mencemooh.
Maka kajian ini , lebih memilih
pemahaman kedua , bahwa selayaknya kita memahami secara utuh , yaitu
sebagaimana seorang manusia mengalami pergulatan panjang untuk mencari jalan
kepada Tuhannya. Meletakan pondasi keimanan sebagaimana perjalanan hidup
Rosululloh itu sendiri. Dari kecil hingga Beliau diangkat sebagai Rosul.
Semua ini harus kita kaji dan
menjadi teladan buta kita umat Islam. Jangan hanya sepenggal kita melihat diri
Nabi hanya setelah Islam di sempurnakan. Semua harus utuh sebagaiamana
perjalanan hidup anak manusia biasa yang karena ke-luar biasa-an-nya,
membuat Beliau diangkat sebagai Rosul, menjadi teladan seluruh umat
manusia. Hal inilah yang samar kita lupakan.
Kita telusuri satu demi satu
perjalanan hidup beliau. Bagaimana pencarian beliau. Hal ini dapat pula menjadi
contoh kepada kita umat Muhammad, kita merasakan betul, bagaimana upaya Beliau,
keprihatinan Beliau, dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu. Memikirkan
situasi dan kondisi masyarakatnya yang menyembah berhala, dan dimana pelbagai
penyakit sosial menghinggapinya.
Dalam keprihatinan, Beliau
mencari kebenaran melalui kontemplasi yang panjang, berhari-hari,
berbulan-bulan, dengan waktu yang tak terbilang. Kadang menyusuri padang pasir
, di teriknya siang, di dinginnya malam, ditengah hujan dan diantara
angin badai yang kadang tak ramah. Di tiap bulan Romadhan , tak pernah
terlewat, untuk melakukan tahanut di goa Hiro. Di senyapnya malam, diantara
kesunyian bintang-bintang di langit. Dan lengangnya gurun pasir tak
bertepi,sejauh pandangan mata. Menanti jawaban, dalam pergulatan yang tak
berhingga, sering meresahkan dirinya, kadang menyedihkan, kadang menenangkan,
kadang, mengecewakan, kadang membuat nelangsa, dalam helaan nafas memberat,
menyaksikan kaumnya dalam kegelapan. Ini memberatkan Jiwa-nya.
Seiring waktu berlalu, sejak saat
terima wahyu, hingga waktu berikutnya, berhari-hari, di banyak waktu, proses
kontemplasi-pun mulai terjadi dalam diri menguat dan mengkristal dalam
sanubarinya yang dalam. Rosululloh, mencoba membaca sebagaimana yang diajarkan
Jibril padanya. Selama periode tersebut, telah dimulai babak nyata
pengajaran Allah, kepada rosululloh.
Sebagaimana sumpah Allah “Demi Jiwa dan Penyempurnaannya, “ (As Syamsi ; 7). Allah bersumpah akan
menyempurnakan jiwa rosululoh, bahkan kepada Jiwa manusia seluruhnya yang
berserah kepadaNYA untuk memohon pengajaran kepada-NYA.. Maka ketika sudah
saatnya Muhammad diangkat sebagai Rosul. Dan memberikan khabar atas pengajaran
ini kepada umat manusia, Dunia dan alam semesta bertasbih mengakui kebesaran
proses belajar dan mengajar ini, yang menghasilkan JIWA YANG AMAT SEMPURNA.
Seorang manusia paripurna, yang mampu bersikap, berbuat , berucap dan
bertingkah laku tidak dengan nafsunya. Berjalan berdasarkan perintah Tuhannya.
Maka sepantasnya pada diri rosululloh terdapat suri tauladan yang sempurna.
Fase pergulatan anak manusia yang
demikian dahsyat, demikian mengharukan, demikian penuh tantangan. Sangat sayang
sekali jika fase ini dihilangkan dari pemahaman kita. Apakah fase
ini sama dengan MEDITASI yang dikenal kita dewasa ini.
Makna harfiah meditasi adalah
kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan,
merenungkan. Arti definisinya, meditasi adalah kegiatan mental terstruktur,
dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan,
dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan
atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Dalam praktek memang kelihatan
hampir sama , namun sejatinya berbeda dalam hal yang mendasari dan dalam
konsepnya. Maka saya lebih suka menyebut sebagai KONTEMPLASI daripada Meditasi
itu sendiri. Nanti kita akan dapat melihat perbedaan yang sangat nyata, baik
dalam objek berpikir sebagai fokus meditasi, maupun tata cara dan
methodologinya. Yang sama adalah subjeknya, dan aktifitas otak, berpikir,
membolak balik, merenungkan, dan sebagainya.
Fase ini memerlukan kontemplasi
yang runut dan panjang, fase dimana diletakan pondasi dasar ketauhidan umat.
Inilah yang dilupakan system pengajaran Islam.
Dan, inilah titik balik pemahaman
yang sangat ‘krusial’ menrut saya, sebab ketika kita memasuki Islam melalui
jalannya Nabi. Langkah terasa sangat enteng, sebab kita merasa tidak terlalu di
bebani syariat pada awalnya.
Kita memiliki visi dan misi,
tekad yang mem-baja dan akan mencontoh rosululloh secara utuh. Mulai dari saat
kecil hingga setelah utuh sempurna sebagai Nabi. Maka kita memiliki keyakinan
bahwa di hasil akhirnya kita akan mampu menjalankan syariat, (Rukun
Islam).
Jikalau selama dalam perjalanan
spiritual kita masih berat, hanyalah sebuah ‘proses’ saja. Kita sadar
dalam menjalankan proses sehingga syariat tidak menjadi beban kita lagi. Jika
hari ini belum mampu sholat, kita yakin dengan mengikuti langkah-langkah Nabi,
suatu saat kita akan mampu sholat dengan sempurna.
Dengan menempuh jalan inilah,
antara syariat, hakekat dan makrifat dalam satu perjalanan. Tidak
terkotak-kotak lagi. Memahami Islam secara utuh. Sebagaimana perjalanan anak
manusia.
Mudah-mudahan dengan penjelasan
ini mampu menjelaskan seharusnya akidah (tauhid) terlebih dahulu ataukah
syariat, yang kita pelajari dalam mempelajari Islam. Manakah yang lebih
penting syariat ataukah hakekat yang harus kita pelajari terlebih dahulu.
Wolohualam
I. Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma’rifat.
Banyak dibicarakan sudah tentang empat
bagian ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan
lainnya didalam pengtahuan akan Islam.
Maka untuk pengantar dan pendahuluan pengetahuan selanjutnya, ada baiknya ke-empat bagian pokok ini
diketengahkan.
1.
Syariat.
Dari segi bahasa artinya “tata-hukum”. Disadari bahwa dikehidupan dunia ini tidak ada yang terlepas dari “hukum”. Termasuk manusia sebagai makhluk dan sebagai
hamba Allah, perlu diatur dan
ditata, sehingga tercipta ketertiban yang menyangkut hubungan terhadap
manusia, manusia dengan alam, serta manusia kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Didalam materi hukumnya, dimana manusia sebagai objeknya, termaktub
didalam aturan Islam, seperti Ilmu Fiqih, Ilmu
Adab dan lain – lainnya. Dalam Ajaran Islam, melaksanakan aturan dan ketentuan
hukum tanpa memahami dan menghayatinya “apa tujuan hukum”,
maka pelaksanaannya tiada memiliki nilai
shah atau dapat membatalkan kesempurnaan ibadaht itu sendiri, dan membuat kesia – siaan dari segala
perbuatannya.
“Fasyarii-‘atun
akhdzun bidii-nilkhaliqi – waqiyaa-muhu
bil-amri wannahyin- jalaa”.
“Syariat adalah berpegang pada aturan Allah yang
menciptakan alam dan menjalankan perintahNya serta meninggalkan
larangan–laranganNya”.
Dengan kata lain syariat diartikan peraturan – peraturan yang
mencakup termasuk di dalamnya soal – soal yang wajib, sunnah, haram, makhruh, dan mubah. Jadi hukum syara’ adalah berhubungan dengan perintah– perintah dan
larangan–larangan Agama.
Masuk dalam syariat segala
amalan – amalan dzahir seperti, shalat,
puasa, zakat, haji,
jihad fisabilillah, dan juga hukum – hukum bidang ekonomi, juga ilmu sosial.
Dan syariat adalah salah satu
unsur yang harus dilaksanakan, tidak bisa ditinggalkan bahkan merupakan
hal yang mendasar bagi yang lain. Antara syariaht dengan haqiqaht
adalah dua hal yang tidak bisa dipisah – pisahkan
bagi orang yang bertashawwuf,
dan saling berpautan oleh karena itu kaum mutashawwuf berkata :
“Innal–haqiqata bilaa syarii–‘atin
baa–thilatun wasy – syarii–‘atu bilaa
haqiqatin ‘aathilatun”. {“Sesungguhnya
haqiqat tanpa syariat adalah batal dan
syariat tanpa haqiqat sia – sia dan tidak
berarti”}.
Untuk mencapai tujuan dari segala apa yang telah menjadi aturan, yaitu apa
yang telah diwajiban bagi manusia, atas segala perintah-Nya dan
menjauhkan dirinya dari larangan – larangan-Nya, tentu memerlukan “Ilmu” atau “Jalan” yang harus
diketahui. Maka tanpa mengetahui jalannya, tentu kesulitan mencapai
tujuan itu. Hal inilah yang dikata atau dinamai Ilmu Thariqat.
2. Thariqat.
Dari persamaan kata Thariqat
menurut segi bahasa “madzhab”
yang artinya “jalan”,
atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadaht sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan di sunnahkan Nabi Muhammad s.a.w, dan
dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in. Dengan
demikian ahli tashawwuf yaqin bahwa peraturan-peraturan
yang tersebut dalam ilmu
syariat dapat dikerjakan dalam pelaksanaan
yang sebaik – baiknya.
Dan seseorang didalam Islam jika tidak memahami (mengerti)
akan ilmu tashawwuf
acap kali bertanyak secara mengejek, mengapa
ada pula ilmu thariqat, apa tidak cukup ilmu fiqih itu saja dikerjakan untuk melaksanakan ajaran Islam itu.
Pertanyaan yang demikian itu sebenarnya
sudah melakukan ilmu thariqat tatkala
gurunya mengajarkan ilmu
fiqih itu kepadanya, misalnya shalat, menunjukan dan membimbing
dia bagaimana cara melakukan ibadaht
shalat itu, dari niat, takbir,
rukuk, sujud dan tertib semua
bimbingan itu sesungguhnya dia melaksanakan perbuatan thariqat.
Mengetahui adanya jalan, perlu pula
mengetahui “cara”
melintasi jalan agar tujuan tercapaikan.
Tujuan adalah kebenaran, maka untuk
melintasi harus dengan benar pula. Untuk
ini harus sudah ada persiapan bathin, ya’ni sikap yang benar.
Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga perlu
adanya latihan-latihan tertentu dengan cara tertentu pula. Sekitar abad
kedua dan ketiga Hijriyah banyak
golongan-golongan, umumnya terdiri dari golongan “fuqara wal
masakin” dengan metode latihan, berintikan ajaran Dzikrullah. Sumber pegangan tidak
terlepas dari ajaran Nabi Muhammad
Rasulullah s.a.w.
Dan golongan-golongan ini menamakan dirinya dengan nama thariqat yang
berpredikat (qaddasallahu sirrahu)
masing-masing sesuai nama pembawa ajaran itu, seperti :
Thariqat
Qadiriyah.
:
Syeikh Abdul Qadir Jailani q.s.
Thariqat
Samaniyah.
:
Syeikh Muhammad Saman q.s.
Thariqat
Syadzaliyah,
: Syeikh Abu Hasan As-Syadzili q.s.
Thariqat
Naqsyabandiyah : Syeikh Baha’uddin Naqsyabandiyah
q.s.
Thariqat
Rifaiyah.
: Syeikh Ahmad bin Abil-Hasan Ar-Rifai q.s.
Dan banyak lagi nama-nama Thariqat
yang mereka anggap sejalan dengan apa yang di firmankan Allah Ta’ala didalam kitab
suci Al-Qur’an :
“Wa-an
lawis-taqaa mu ‘alaath-thariqati la-asqaiynaa hum
maa-an rghadaqan”.
“Jika mereka benar-benar istiqamah ( tetap
pendirian / terus-menerus ) diatas thariqat
(jalan) itu, sesungguhnya akan
Kami ( Allah ) beri minum mereka dengan air
(hikmah) yang berlimpah-limpah”.(QS.
Al- Jin, 16)
Banyak Ulama yang berpendapat bahwa dari sejumlah thariqat-thariqat
yang tersebar didunia Islam, ada
yang Mu’tabar ( di akui
) dan Ghairu Mu’tabar (
tidak diakui ).
Seseorang yang memasuki Thariqat,
dinamai salik (orang yang berjalan),
sedang cara yang mereka tempuh dinamakan suluk.
Banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan, antara lain khalwat ( menyendiri ). Didalam
menjalani khalwat diperlukan muraqabah atau mengintai prilaku diri,
dan muhasabah atau
menghitung-hitung, merenungi diri mana yang baik dan terpuji dan
mana yang jelek serta mana pula yang tercela, mujahadah atau tekun, rajin, sungguh-sungguh, dan banyak lagi
istilah-istilah riyadhah lahir
dan bathin, sesuai dengan
arahan atau petunjuk dari Syeikh
/ Mursyid ( guru ), Thariqat itu sendiri.
3. H a q i q a t.
Bermula dari pada ma’na yang sebenarnya haqiqat
yang berarti “kebenaran”
atau “kenyatan asal” atau
“yang sebenar-benarnya”. Maka
bahwa keempat akan ilmu seperti : Syariat, Thariqat, Haqiqat, dan Ma’rifat. Tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan lainnya karena syariat itu
terpilin atau terjalin akan haqiqat dan haqiqat itu terjalin
atas syariat.
Kebenaran dalam hidup dan kehidupan, inilah yang dicari dan ini pula yang
dituju. Haqiqat dunia, haqiqat isi dunia dan haqiqat diri yang mengatahui akan kedua itu
sesungguhnya dikarenakan rahmat Allah
Ta’ala, yang menjadikan akan manusia sebagai fitrah kekhalifahan. Maka dari pada itu syariat untuk mewujudkan akan amal
dan haqiqat
mewujudkan ihwal. Syariat ditujukan
kepada manusia untuk melaksanakan ibadaht
serta sampai kepadanya akan amar dan
nahi adalah untuk menjelaskan
kecintaan dan mendirikan keterangan hukun
dan nyatanya. Sedangkan haqiqat pelaksanaannya dalam khuluk dan iradaht, hasilnya akan diperoleh mereka yang terpilih
daripada hamba-Nya yang dicintai
oleh Allah Ta’ala. Maka thariqat adalah latihan untuk
menempatkan diri setingkat demi setingkat lebih tinggi dan lebih dekat
kepada Allah Ta’ala.
Perbedaan thriqat dan haqiqat tiada adanya, bahkan sambung-menyambung antara satu sama
lainnya.
Dan kebenaran itu bukan hanya terlatak akan aqal pikiran
dan hati tetapi juga pada rasa, yakni “rasa jasmani” yang
dapat dirasakan dengan rasa pahit, manis, asam, asin dan
sebagainya. Ada yang disebut rasa-ruhani yang dapat merasakan gembira,
sedih, bingung, kecewa, ceria dan sebagainya. Dan terdapat pula pada diri
manusia yang disebut rasa nurani rasa yang penuh cahaya “rahmatan lil’alaamin”, karunia Allah Ta’ala atas segala keshalihan dan ketekunan didalam
ketaatannya kepada Allah Jalla wa
azza. Dalam karunia Allah ini
Para Arif Billah menyebutkannya
dengan istilah :
“Amrun dzauqy”
{Yaitu, urusan yang paling dalam, lepas dari segala isyarat dan
‘itibar lalu dengan penuh kerendahan hati berkata kepada atas rahmat Allah Ta’ala}.
“Man lam yadzuq
lam yadri”. {“Siapa tidak merasa tidak akan mengetahui”}.
“Mayakhruju
baina-syafatain illa isyarat wal ‘itibar” {“Apa yang keluar dari dua bibir adalah hanya sekedar
isyarat dan ‘itibar”}.
4.
M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari
kata ‘arafa yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa mengenal
dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal Tuhannya”). Jika dilihat
dari perkataan tentang diri sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan, kekurangan, kelemahan,
fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang dapat (sanggup) dan mampu mengenal-Nya dalam
arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah
Ta’ala.
Didalam pelaksanaan akan ilmu ma’rifat atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering
terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang
mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki
itu :
Hai Abu Qasim, “apakah tuan
melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan” maka Al-Junaidi berkata, “Penanya
yang terhormat, Kami tidak menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak
mensucikan apa-apa yang tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana
cara tuan melihat Tuhan”? Imam
Al-Junaidi r.a. berkata :
(Iqazdul
Himan).
“Alkaifiyyatu ma’luu-matun fii haqqil-basyari
mahh-hulatun fii haqqir-rabbi. Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari
bimusyaahadatil-‘ayaani walakin ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma
tataraqqa minal-ma’rifati ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar)
itu positif, sedang shifat-shifat dalam haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya,
maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat ini dengan penglihatan mata kepala, akan
tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki
dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah penglihatan (rukyat) Nur karunia dari Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya
Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi
r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang
itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa seperti pada masa Al-Junaidi
r.a. terjadi juga pada masa Syeikh Abdul
Qadir- Jailany. Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal
itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan demikianlah
sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan
mata hatinya (“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha Agung. Kemudian tembus
dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu hhanniytu ‘alal basyariy-yatin
‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa yaral-bashiyru illal
ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
“Apabila Ruhaniah (al-ruhhaniy) telah meliputi atau
berkuasa atas Indriah (al-basyariy) maka berbaliklah penglihatan mata
(al-bashaar) kedalam penglihatan hati sanubari
(al-bashiyratu) maka ketika itu tiadalah penglihatan mata itu
kecuali
yang (al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati
(sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.
yang (al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati
(sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.
SEMUAYANG
ADA DI LANGIT DAN DIBUMI SELALU MEMINTA KEPADA-NYA. SETIAP WAKTU DIA MEMPUNYAI
URUSAN. MAKA NI’MAT TUHAN KAMU YANG MANA, YANG KAMU DUSTAKAN”}.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar