Rabu, 25 Juni 2014

Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma’rifat.


“Sungguh telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan Dia banyak mengingat Allah “
( Al-Ahzab ; 21)

Siapapun yang mengaku dirinya Islam, pasti akan berusaha untuk meneladani cara hidup Rosululloh. Namun masalah yang sering timbul  adalah , apakah kita mencontoh nabi Muhammad ;
1. Hanya pada periode setelah   Beliau diangkat sebagai Rosul. Dan fase-fase akhir kesempurnaan Islam. Fase pelaksanaan syariat Islam secara sempurna.
2. ( Atau) Kita akan memahaminya secara utuh sebagai anak manusia yang bergulat untuk mencari jalan kepada Tuhannya. Mulai sejak saat dilahirkan , kemudian dia menjalani masa kecil yang penuh dengan dinamika suka duka anak manusia yatim piatu lagi papa. Kemudian juga bagaimana dia beranjak dewasa di tengah kerasnya kehidupan padang pasir, dan peradaban masyarakat jahiliyah. Selanjutnya dia menikah, berdagang layaknya manusia biasa.  Hingga sampai mendapatkan pencerahan, dan kemudian diangkat sebagai Rosul.
Pada masa-masa awal kerosulannya, Beliau membimbing para sahabatnya dengan meletakkan pondasi ketauhidan terlebih dahulu, sebagai pondasi pelaksanaan syariat di kemudian hari. Fase ini berlangsung cukup lama.
Kita tahu bahwa pengajaran ketauhidan diletakkan terlebih dahulu sebelum syariat. Kesiapan mentalitas manusianya di ‘gembleng’ benar-benar, sehingga pada saatnya nanti para sahabat akan mampu melaksanakan syariat dengan sempurna.
Sekali lagi, bahwa fase untuk sampai kepada pelaksanaan  kesempurnaan syariat Islam membutuhkan pondasi keimanan yang kuat terlebih dahulu dari para sahabat itu sendiri.
Nah, bagaimana dengan kondisi umat sekarang ?. Maka pertanyaan kembali di ulang; Pada fase manakah kita umat islam mamu mencontoh teladan Rosululloh ? .
Sungguh sangat naïf, jika umat dipaksa untuk menjalankan syariat secara sempurna tanpa memiliki pondasi keimanan terlebih dahulu. Palingtidak kedua hal itu haruslah sejalan. Peletakan pondasi keimanan seiring dengan pelaksanaan syariat itu sendiri.
Islam dari kubu syariat hanya berorientasi pelaksanaaan syariat sebagaimana contoh Rosululloh saat ketika Islam sudah sempurna.
Islam kubu hakekat hanya berorientasi kepada bagaimana kontemplasi pencarian hakekat yang dilakukan Rosululloh pada masa-masa sebelum kenabiannya.
Kedua kubu ini seperti saling berseteru, saling mencemooh.
Maka kajian ini , lebih memilih pemahaman kedua , bahwa selayaknya kita memahami secara utuh , yaitu sebagaimana seorang manusia mengalami pergulatan panjang untuk mencari jalan kepada Tuhannya. Meletakan pondasi keimanan sebagaimana perjalanan hidup Rosululloh itu sendiri. Dari kecil hingga Beliau diangkat sebagai Rosul.
Semua ini harus kita kaji dan menjadi teladan buta kita umat Islam. Jangan hanya sepenggal kita melihat diri Nabi hanya setelah Islam di sempurnakan. Semua harus utuh sebagaiamana perjalanan hidup anak  manusia biasa yang karena ke-luar biasa-an-nya, membuat Beliau diangkat sebagai Rosul,  menjadi teladan seluruh umat manusia. Hal inilah yang samar kita lupakan.
Kita telusuri satu demi satu perjalanan hidup beliau. Bagaimana pencarian beliau. Hal ini dapat pula menjadi contoh kepada kita umat Muhammad, kita merasakan betul, bagaimana upaya Beliau, keprihatinan Beliau, dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu.  Memikirkan situasi dan kondisi masyarakatnya yang menyembah berhala, dan dimana pelbagai penyakit sosial menghinggapinya.
Dalam keprihatinan, Beliau mencari kebenaran melalui kontemplasi yang panjang, berhari-hari, berbulan-bulan, dengan waktu yang tak terbilang. Kadang menyusuri padang pasir , di teriknya  siang, di dinginnya malam, ditengah hujan dan diantara angin badai yang kadang tak ramah. Di tiap bulan Romadhan , tak pernah terlewat, untuk melakukan tahanut di goa Hiro. Di senyapnya malam, diantara kesunyian bintang-bintang di langit. Dan lengangnya gurun pasir tak bertepi,sejauh pandangan mata. Menanti jawaban, dalam pergulatan yang tak berhingga, sering meresahkan dirinya, kadang menyedihkan, kadang menenangkan, kadang, mengecewakan, kadang membuat nelangsa, dalam helaan nafas memberat, menyaksikan kaumnya dalam kegelapan. Ini memberatkan Jiwa-nya.
Seiring waktu berlalu, sejak saat terima wahyu, hingga waktu berikutnya, berhari-hari, di banyak waktu, proses kontemplasi-pun mulai terjadi dalam diri menguat dan mengkristal dalam sanubarinya yang dalam. Rosululloh, mencoba membaca sebagaimana yang diajarkan Jibril padanya. Selama periode tersebut, telah dimulai babak nyata  pengajaran Allah, kepada rosululloh.
Sebagaimana sumpah Allah Demi Jiwa dan Penyempurnaannya, “ (As Syamsi ; 7). Allah bersumpah akan menyempurnakan jiwa  rosululoh, bahkan kepada Jiwa manusia seluruhnya yang berserah kepadaNYA untuk memohon pengajaran kepada-NYA.. Maka ketika sudah saatnya Muhammad diangkat sebagai Rosul. Dan memberikan khabar atas pengajaran ini kepada umat manusia, Dunia dan alam semesta bertasbih mengakui kebesaran proses belajar dan mengajar ini, yang menghasilkan JIWA YANG AMAT SEMPURNA. Seorang manusia paripurna, yang mampu bersikap, berbuat , berucap dan bertingkah laku tidak dengan nafsunya. Berjalan berdasarkan perintah Tuhannya. Maka sepantasnya pada diri rosululloh terdapat suri tauladan yang sempurna.
Fase pergulatan anak manusia yang demikian dahsyat, demikian mengharukan, demikian penuh tantangan. Sangat sayang sekali jika fase ini  dihilangkan dari pemahaman kita.  Apakah fase ini sama dengan MEDITASI yang dikenal kita dewasa ini.
Makna harfiah meditasi adalah kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti definisinya, meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Dalam praktek memang kelihatan hampir sama , namun sejatinya berbeda dalam hal yang mendasari dan dalam konsepnya. Maka saya lebih suka menyebut sebagai KONTEMPLASI daripada Meditasi itu sendiri. Nanti kita akan dapat melihat perbedaan yang sangat nyata, baik dalam objek berpikir sebagai fokus meditasi, maupun tata cara dan methodologinya. Yang sama adalah subjeknya, dan aktifitas otak, berpikir, membolak balik, merenungkan, dan sebagainya.
Fase ini memerlukan kontemplasi yang runut dan panjang, fase dimana diletakan pondasi dasar ketauhidan umat. Inilah yang dilupakan system pengajaran Islam.
Dan, inilah titik balik pemahaman yang sangat ‘krusial’ menrut saya, sebab ketika kita memasuki Islam melalui jalannya Nabi. Langkah terasa sangat enteng, sebab kita merasa tidak terlalu di bebani syariat pada awalnya.
Kita memiliki visi dan misi, tekad yang mem-baja dan akan mencontoh rosululloh secara utuh. Mulai dari saat kecil hingga setelah utuh sempurna sebagai Nabi. Maka kita memiliki keyakinan  bahwa di hasil akhirnya kita akan mampu menjalankan syariat, (Rukun Islam).
Jikalau selama dalam perjalanan spiritual kita masih berat, hanyalah sebuah ‘proses’ saja.  Kita sadar dalam menjalankan proses sehingga syariat tidak menjadi beban kita lagi. Jika hari ini belum mampu sholat, kita yakin dengan mengikuti langkah-langkah Nabi, suatu saat kita akan mampu sholat dengan sempurna.
Dengan menempuh jalan inilah, antara syariat, hakekat dan makrifat dalam satu perjalanan. Tidak terkotak-kotak lagi. Memahami Islam secara utuh. Sebagaimana perjalanan anak manusia.
Mudah-mudahan dengan penjelasan ini mampu menjelaskan seharusnya akidah (tauhid) terlebih dahulu ataukah syariat, yang kita pelajari dalam mempelajari Islam.  Manakah yang lebih penting syariat ataukah hakekat yang harus kita pelajari terlebih dahulu.
Wolohualam

I.     Syariat,  Thariqat,  Haqiqat,  Ma’rifat.
Banyak dibicarakan sudah tentang  empat  bagian ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya didalam pengtahuan akan Islam.   Maka untuk pengantar dan pendahuluan pengetahuan selanjutnya, ada baiknya ke-empat bagian pokok ini diketengahkan.
1.     Syariat.
Dari segi bahasa artinya  “tata-hukum”.  Disadari bahwa dikehidupan dunia ini tidak ada yang terlepas dari  “hukum”.   Termasuk manusia sebagai makhluk dan sebagai hamba Allah,  perlu diatur dan ditata,  sehingga tercipta ketertiban yang menyangkut hubungan terhadap manusia, manusia dengan alam,  serta manusia kepada  Allah Yang Maha Pencipta.
Didalam materi hukumnya,  dimana manusia sebagai objeknya, termaktub didalam aturan Islam,  seperti  Ilmu  Fiqih,  Ilmu  Adab dan lain – lainnya.  Dalam  Ajaran  Islam,  melaksanakan aturan dan ketentuan  hukum  tanpa memahami dan menghayatinya “apa tujuan hukum”,  maka pelaksanaannya tiada memiliki  nilai  shah atau dapat membatalkan kesempurnaan ibadaht  itu sendiri, dan membuat kesia – siaan dari segala perbuatannya.  
“Fasyarii-‘atun   akhdzun   bidii-nilkhaliqi – waqiyaa-muhu   bil-amri   wannahyin-  jalaa”.
“Syariat adalah berpegang pada aturan Allah yang menciptakan alam dan  menjalankan perintahNya serta meninggalkan larangan–laranganNya”.
Dengan kata lain syariat diartikan peraturan – peraturan yang  mencakup termasuk di dalamnya soal – soal yang  wajib,  sunnah,  haram,  makhruh, dan mubah.  Jadi hukum syara’ adalah berhubungan dengan perintah– perintah dan larangan–larangan  Agama.  Masuk dalam  syariat  segala amalan – amalan   dzahir    seperti,   shalat,    puasa,   zakat,   haji,    jihad  fisabilillah,  dan juga  hukum – hukum bidang ekonomi,  juga  ilmu  sosial.
Dan syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan,  tidak bisa ditinggalkan bahkan merupakan hal yang mendasar bagi yang lain.  Antara syariaht  dengan  haqiqaht adalah  dua  hal  yang  tidak bisa dipisah – pisahkan bagi orang  yang  bertashawwuf,  dan saling berpautan oleh karena itu kaum mutashawwuf  berkata :
“Innal–haqiqata  bilaa  syarii–‘atin  baa–thilatun  wasy – syarii–‘atu  bilaa     haqiqatin  ‘aathilatun”. {“Sesungguhnya  haqiqat  tanpa  syariat  adalah  batal  dan  syariat  tanpa  haqiqat  sia – sia  dan  tidak  berarti”}.
Untuk mencapai tujuan dari segala apa yang telah menjadi aturan, yaitu apa yang telah  diwajiban bagi manusia, atas segala perintah-Nya dan menjauhkan  dirinya dari larangan – larangan-Nya,  tentu memerlukan “Ilmu” atau  “Jalan” yang harus diketahui.  Maka tanpa mengetahui jalannya,  tentu kesulitan mencapai tujuan itu.  Hal inilah yang dikata  atau dinamai  Ilmu Thariqat.
2.     Thariqat.
Dari  persamaan  kata  Thariqat  menurut  segi  bahasa  “madzhab”  yang   artinya  “jalan”, atau  petunjuk  dalam   melakukan  sesuatu  ibadaht  sesuai  dengan  ajaran  yang  ditentukan  dan  di  sunnahkan  Nabi  Muhammad s.a.w,  dan  dikerjakan  oleh  sahabat  dan  tabi’in.  Dengan  demikian  ahli  tashawwuf  yaqin  bahwa  peraturan-peraturan  yang  tersebut  dalam  ilmu  syariat  dapat  dikerjakan  dalam  pelaksanaan  yang  sebaik – baiknya.
Dan  seseorang  didalam  Islam  jika  tidak  memahami (mengerti)  akan  ilmu  tashawwuf  acap  kali  bertanyak  secara  mengejek,  mengapa  ada  pula  ilmu  thariqat, apa tidak cukup ilmu fiqih itu saja dikerjakan untuk  melaksanakan  ajaran  Islam  itu.  Pertanyaan  yang  demikian  itu  sebenarnya  sudah  melakukan  ilmu  thariqat  tatkala  gurunya  mengajarkan  ilmu  fiqih  itu  kepadanya, misalnya shalat, menunjukan dan membimbing dia bagaimana cara melakukan ibadaht shalat itu, dari niat, takbir, rukuk, sujud dan tertib  semua  bimbingan itu sesungguhnya dia melaksanakan perbuatan thariqat.
Mengetahui  adanya  jalan,  perlu  pula  mengetahui “cara”  melintasi  jalan  agar  tujuan  tercapaikan.  Tujuan  adalah  kebenaran,  maka  untuk  melintasi  harus  dengan  benar  pula.  Untuk  ini harus  sudah  ada  persiapan  bathin,   ya’ni  sikap  yang  benar.  Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, sehingga perlu adanya latihan-latihan tertentu dengan cara tertentu pula.  Sekitar abad kedua dan ketiga  Hijriyah banyak golongan-golongan, umumnya terdiri dari golongan  “fuqara  wal  masakin”  dengan metode  latihan,  berintikan ajaran  Dzikrullah.  Sumber pegangan tidak terlepas dari ajaran  Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dan golongan-golongan ini menamakan dirinya dengan nama thariqat yang berpredikat (qaddasallahu sirrahu) masing-masing sesuai nama pembawa ajaran itu,  seperti  :
Thariqat Qadiriyah.                  : Syeikh Abdul Qadir Jailani q.s.
Thariqat Samaniyah.                : Syeikh Muhammad Saman q.s.
Thariqat Syadzaliyah,              : Syeikh Abu Hasan As-Syadzili q.s.
Thariqat Naqsyabandiyah      : Syeikh Baha’uddin Naqsyabandiyah q.s.
Thariqat Rifaiyah.                     : Syeikh Ahmad bin Abil-Hasan Ar-Rifai q.s.
Dan banyak lagi nama-nama Thariqat yang mereka anggap sejalan dengan apa yang  di firmankan  Allah  Ta’ala  didalam kitab suci  Al-Qur’an :
“Wa-an  lawis-taqaa mu  ‘alaath-thariqati  la-asqaiynaa  hum maa-an  rghadaqan”.
“Jika mereka benar-benar istiqamah  ( tetap pendirian / terus-menerus ) diatas thariqat 
 (jalan) itu,  sesungguhnya  akan  Kami  ( Allah ) beri minum  mereka  dengan  air
 (hikmah)  yang  berlimpah-limpah”.(QS. Al- Jin,  16)
Banyak  Ulama yang berpendapat bahwa dari sejumlah thariqat-thariqat yang tersebar didunia  Islam,  ada  yang  Mu’tabar  ( di akui ) dan  Ghairu  Mu’tabar  ( tidak diakui ). 
Seseorang yang memasuki Thariqat,  dinamai salik (orang yang berjalan), sedang cara yang mereka tempuh dinamakan suluk.  Banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan,  antara lain khalwat  ( menyendiri ). Didalam menjalani khalwat diperlukan  muraqabah atau mengintai prilaku diri, dan muhasabah atau menghitung-hitung, merenungi  diri mana yang baik dan terpuji dan mana  yang jelek serta mana pula yang tercela,  mujahadah  atau tekun, rajin, sungguh-sungguh, dan banyak lagi istilah-istilah riyadhah  lahir  dan bathin,  sesuai dengan arahan atau petunjuk  dari  Syeikh / Mursyid  ( guru ),  Thariqat  itu sendiri.
3.     H a q i q a t.
Bermula dari pada ma’na yang sebenarnya haqiqat  yang berarti  “kebenaran”  atau “kenyatan asal”  atau  “yang sebenar-benarnya”.  Maka bahwa keempat akan ilmu seperti : Syariat,  Thariqat,  Haqiqat,  dan  Ma’rifat. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya karena syariat itu terpilin atau terjalin akan haqiqat  dan haqiqat itu terjalin atas syariat.
Kebenaran dalam hidup dan kehidupan, inilah yang dicari dan ini pula yang dituju. Haqiqat dunia, haqiqat isi dunia dan haqiqat diri yang mengatahui akan kedua itu sesungguhnya dikarenakan rahmat Allah Ta’ala, yang menjadikan akan manusia sebagai fitrah kekhalifahan.  Maka dari pada itu syariat untuk mewujudkan akan amal  dan haqiqat mewujudkan  ihwal.  Syariat ditujukan kepada manusia untuk melaksanakan ibadaht serta sampai kepadanya akan amar dan nahi  adalah untuk menjelaskan kecintaan dan mendirikan keterangan hukun dan nyatanya.  Sedangkan haqiqat  pelaksanaannya dalam khuluk dan iradaht,  hasilnya akan diperoleh mereka yang terpilih daripada hamba-Nya yang dicintai oleh Allah  Ta’ala. Maka thariqat adalah latihan untuk menempatkan diri setingkat demi setingkat lebih tinggi dan lebih dekat kepada  Allah  Ta’ala.
Perbedaan thriqat dan haqiqat tiada adanya, bahkan sambung-menyambung antara satu sama lainnya.
Dan kebenaran itu bukan hanya terlatak akan aqal pikiran dan hati tetapi juga pada rasa,  yakni  “rasa jasmani”  yang dapat dirasakan dengan rasa pahit,  manis,  asam, asin dan sebagainya.  Ada yang disebut rasa-ruhani yang dapat merasakan gembira, sedih, bingung, kecewa, ceria dan sebagainya. Dan terdapat pula pada diri manusia yang disebut rasa nurani rasa yang penuh cahaya “rahmatan lil’alaamin”, karunia  Allah Ta’ala atas segala keshalihan dan ketekunan didalam ketaatannya kepada  Allah Jalla wa azza. Dalam karunia Allah  ini Para Arif Billah menyebutkannya dengan istilah :
“Amrun dzauqy”  {Yaitu,  urusan yang paling dalam,  lepas dari segala isyarat dan ‘itibar  lalu dengan penuh kerendahan hati berkata kepada atas rahmat Allah Ta’ala}.
“Man lam yadzuq lam yadri”.  {“Siapa tidak merasa tidak akan mengetahui”}.
“Mayakhruju baina-syafatain illa isyarat wal ‘itibar” {“Apa yang keluar dari dua bibir adalah hanya sekedar isyarat dan ‘itibar”}.
4.     M a ‘ r i f a t.
Adapun ma’rifat berasal dari kata  ‘arafa yang ma’nanya mengenal, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. (“Siapa mengenal dirinya, sesungguhnyan dia dapat mengenal  Tuhannya”).  Jika dilihat dari perkataan tentang diri sesungguhnya penuh dengan serba ketergantungan, kekurangan, kelemahan, fana. Dan sesungguhnya tiada seorangpun manusia yang dapat (sanggup) dan mampu mengenal-Nya dalam arti haqiqi kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. 
Didalam pelaksanaan akan ilmu ma’rifat  atau mengenal akan Allah Ta’ala, maka memang sering terdengar, baik massa dahulu kala maupun massa sekarang, hal yang mempertanyakan dapatkah melihat (mengenal) akan Allah. Pada suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Imam Al-Junaidi r.a. berkata laki-laki itu :
Hai Abu Qasim, “apakah tuan melihat Tuhan waktu tuan menyembah Tuhan” maka Al-Junaidi berkata, “Penanya yang terhormat, Kami tidak menyembah Tuhan yang kami tidak lihat dan kami tidak mensucikan apa-apa yang tidak jelas”. Maka berkatalah orang itu, “bagaimana cara tuan melihat Tuhan”? Imam Al-Junaidi r.a. berkata :
 (Iqazdul Himan).
“Alkaifiyyatu ma’luu-matun fii haqqil-basyari mahh-hulatun fii haqqir-rabbi. Lantarahul-abshaaru fii hadzihid-dari bimusyaahadatil-‘ayaani walakin ta’rifuhul-quluubu bihaqa-iqil iymaani tsumma tataraqqa minal-ma’rifati ilaar-rukyahti bimusyaahadati nuuril-imtinaani”.
“Adapun shifat-shifat dalam haqiqat Keinsanan (AI-basyar) itu positif, sedang shifat-shifat dalam haqiqat Ketuhanan itu negatif, artinya, maka tidak bisa melihat Tuhan ditempat ini dengan penglihatan mata kepala, akan tetapi. Hati dapat melihat Tuhan dngan kekuatan Iman. Selanjutnya kita jejaki dari pada pertolongan “ma’rifat” kearah penglihatan (rukyat) Nur karunia dari Allah Ta’ala adanya”.
Selanjutnya Al-Junaidi r.a. berkata : “Maha Suci Allah dari shifat-shifat dari yang baru, Maha Suci Allah dengan keagunganNya yang mempunyai shifat sempurna, termulia dalam hati atas pemberian belas kasianNya, terkenal dengan keadilanNya yang mempunyai shifat-shifat yang Agung”.
Setelah orang itu menperhatikan uraian Al-Junaidi r.a. maka berdirilah orang itu seraya mencium tangannya beliau dan orang itupun terus bertaubat. Seterusnya orang itu tetap bersama-sama dengan Imam Al-Junaidi r.a. sampai beliau wafat.
Peristiwa seperti pada masa Al-Junaidi r.a. terjadi juga pada masa Syeikh Abdul Qadir- Jailany.  Pada suatu ketika, ditanya Syeikh Abdul Qadir Jailany dari seseorang laki-laki mengaku bahwa Ia dapat melihat Tuhan dengan matanya. Oleh karenanya maka orang itu menanyakan hal itu kepada Syeikh Abdul Qadir Jailany.
Beliau berkata : “Na’am” (“Iya”). Dan demikianlah sebenarnya bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya (“Al-Bashiyra”) Nur Cahaya Yang Maha Agung.  Kemudian tembus dari penglihatan hatinya itu kepenglihatan matanya. Dalam hal ini, Ahli-Ahli Tashawwuf mangambil pengertian bahwa :
“Faidzaas-taulatir-ruu hhanniytu ‘alal basyariy-yatin ‘akasa nazharul-bashari ilal-bashiyrati falaa yaral-bashiyru illal ma’aniyl-latiy kanat tarahal bashiyratu”.
“Apabila Ruhaniah (al-ruhhaniy) telah meliputi atau berkuasa atas Indriah  (al-basyariy) maka berbaliklah penglihatan mata (al-bashaar) kedalam penglihatan hati sanubari
                (al-bashiyratu) maka ketika itu tiadalah penglihatan mata itu kecuali  
                yang (al-ma’aniy) yang dipahami yang menjadi objek penglihatan hati   
                (sedang objek penglihatan mata sesuatu yang tampak-tampak saja)”.

SEMUAYANG ADA DI LANGIT DAN DIBUMI SELALU MEMINTA KEPADA-NYA. SETIAP WAKTU DIA MEMPUNYAI URUSAN. MAKA NI’MAT TUHAN KAMU YANG MANA, YANG KAMU DUSTAKAN”}.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar