Pengertian dan Hakikat Insan Kamil
Posted By : Adrian Irnanda Pratama
Berawal dari cerita ketika saya dibelikan buku oleh paman saya yang berjudul "Menjadi Manusia Insan Kamil" saya tertarik untuk corat coret di blog saya ini dan berbagi ke saudara-saudari ku yang dirahmati Allah tentang "Hakikat Insan Kamil" coba dibaca dan coba untuk direnungkan, jadikanlah diam mu untuk berfikir!
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ
اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كاَنَ يَرْجُوااللهَ وَالْيَوْمَ الاَخِرَ
وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarjuullaha wal yauma-aakhira wadzakarallaha katsiiran
Laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarjuullaha wal yauma-aakhira wadzakarallaha katsiiran
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzāb: 21).
Jadi setiap manusia secara potensial
merupakan citra Tuhan, pada insan kamil potensi itu menjadi aktual,
karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Tetapi
citra itu belum sempurna sampai ia menyadari kesatuan esensialnya dengan
Tuhan. Setiap insan kamil adalah sufi, karena kesadaran seperti itu
hanya bisa diperoleh di dalam tasawuf.
Insan kamil ialah manusia yang sempurna
dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya
ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang
pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun
kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai
tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan
Tuhan, yang disebut makrifat.[2]
Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli
Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa
segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah
wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan
waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak
mempunyai relasi dengan sesuatu.[3]
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo).[4]
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-asmā’ al-husnā).
Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan
dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral,
misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam
batu-batuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan
ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi
tidak henti-hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang
sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai
jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua
makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa mencerminkan
sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini karena
manusia sebagai mikrokosmos yang terkandung di dalamnya seluruh unsur
kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia
telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil,
manusia sempurna, atau manusia universal.[5]
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan.[6]
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli
Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari
segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas
individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Hati
insan kamil berpadanan dengan arasy Tuhan, “ke-Aku-an”nya sepadan dengan
kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha, akalnya
dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfūz, tabiatnya dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayūla, tubuhnya dengan habā’ dan lain-lain.[7]
Bani Adam secara potensial adalah insan
kamil, meski hanya di kalangan para nabi dan wali saja potensi itu
menjadi aktual. Alquran surat al-Isra’: 70 menjelaskan
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ اَدَمَ
وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبََرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَهُمْ مِنَ
الطَّيِّبَتِ وَفَضَّلْنَهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيْلاً
Artinya:
“Sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam. Kami angkut merekat di daratan dan lautan. Kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (Qs. al-Isra’: 70).[8]
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah).
Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan
sifat-sifat Ilahi pada dirinya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah).
Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat
ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari
hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga ialah
tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil
telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia
pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.
Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[9]
Akan tetapi, insan kamil yang muncul
dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak dapat mencapai peringkat
tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw. Alquran surat al-Ahzāb : 21
menjelaskan
Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi
(penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara
intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena
itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia
tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri,
sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika
potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam
berbagai fenomena alam semesta.[11]
Tajalli żāti, menurut Ibn Arabi,
terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat
wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi
mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga
ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu
kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘amā’) yakni awan tipis yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmān (nafas Tuhan yang Maha Pengasih).[12]
Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih
terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun: tidak terkait
dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab
dan sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam
transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya,
maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk.[13]
Pada martabat wahidiyah Tuhan
memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang
dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma
dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan
dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (‘a’yān sābitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilāhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyāniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma’ kiyāniyah
itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap
kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyāniyah sebagai wadah tajalli-nya.[14] Ibn Arabi menjelaskan
فَلَمَّا اَرَادَ
وُجُوْدَالْعَالَمِ انْفَعَلَ عَنْ تِلْكَ الاِرَادَةِ الْمُقَدَّسَةِ
حَقِيْقَةٌ تُسَمَّى الْهَبَاءُ ثُمَّ اِنَّهُ سُبْحَانَهُ تَجَلَّى
بِنُوْرِهِ اِلَى ذَلِكَ الْهَبَاءِ وَيُسَمُّوْنَهُ اَصْحَابُ الاَفْكَارِ
الْهَيُوْلىَ الْكُلَّ وَالْعَالَمُ كُلُّهُ فِيْهِ بِالْقُوَّةِ
وَالصَّلاَحِيَّةِ فَقَبِلَ مِنْهُ تَعَالَى كُلُّ شَيْئٍ فِى ذَلِكَ
الْهَبَاءِ عَلَى حَسْبِ قُوَّتِهِ وَاسْتِعْدَادِهِ كَمَا تَقْبِلُ
زَوَايَاالْبَيْتِ نُوْرَا لسِّرَاجِ وَعَلَى قَدْرِ قُرْبِهِ مِنْ ذَلِكَ
النُّوْرِ يَسْتَدُّ ضَوْءُهُ وَقَبُوْلُهُ فَلَمْ يَكُنْ اَقْرَبُ
اِلَيْهِ قُبُوْلاً فِى ذَلِكَ الْهَبَاءِ اِلاَّ حَقِيْقَةٌ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ وُجُوْدُهُ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ
الاِلَهِيِّ وَمِنَ الْهَبَاءِ وَمِنَ الْحَقِيْقَةِ الُكُلِّيَّةِ
“Tatkala (Allah) menghendaki adanya
alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang disebut habâ’
(materi prima). Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada
habâ’ itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayûla al-kull (materi
universal), yang alam semesta ini secara potensial dan serasi berada di
dalamnya. Segala sesuatu dalam habâ’ itu menerima (nur) Allah menurut
potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah rumah
menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan
lebih banyak menerimanya. Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam
habâ’ itu daripada hakikat Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi
itu, dari habâ’ dan dari realitas universal.”[15]
Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zāhir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhīth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakūr (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gāni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-būrūj (falak bintang-bintang), dan falak al-manāzil (falak berorbit). Setelah falak al-manāzil,
secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan
langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah,
mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil.
Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alīm (Yang Maha Mengetahui), al-Qāhir (Yang Maha Perkasa), an-Nūr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhsī (yang mencatat), al-matīn (Yang Maha Kokoh), al-Qābid (yang membatasi), al-Hayy (Yang Maha Hidup), al –Muhyī (Yang Menghidupkan), al-Mumīt (Yang Mematikan), al-Azīz (Yang Maha Mulia), ar-Razzāq (Yang Memberi rezki), al-Mużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jāmi’ (Yang Menghimpunkan), Rāfi’ ad-Darajāt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.[16]
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk
pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari
sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi,
karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas
perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan
sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada
dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra
Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara
sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat
dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hāl, jamaknya: ahwāl).[17]
Maqāmāt adalah tahap-tahap
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk
ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala
menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat
dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun
hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl
yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas,
gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun
kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”[18]
قال بروى احمد طبانه فى
مقدمة احياء علوم الدين للغزالى : (ربع المنجيات) فى ابواب الخوف والرجاء
والصبر والشكر والفقر والزهد والتوحيد والتوكل والمحبة والشوق والانس
والرضا
Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam
Muqadimah Ihyā’ Ulumudin karya al-Ghazali: “Seperempat bagian yang
menyelamatkan (maqāmāt) dalam bab khauf (takut), rajā’ (berharap),
sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra,
dan rida.[19]
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqāmāt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.[20] Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqām makrifat dan mahabbah.
Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan
mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar
terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal
Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya
adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya
hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.[21]
Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’)
di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan
demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1. Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt
(sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua
tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari
Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang
menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nūr al-mahd
(hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya
sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2. Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād
(sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa
segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari
balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu
agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3. Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent)
tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala
sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan,
mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4. Fanā’ ‘an kull az-zāt
(sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari
non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya
ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5. Fanā’ ‘an kull al-‘alam
(sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap
aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar
ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6. Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.[22]
Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad
dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya.
Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis
seperti inilah yang dicapai insan kamil.
Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik
biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental
spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan
sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah
Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan
khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu
wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, kedua bentuk
khalifah diatas sama-sama mempunyai urgensi dalam eternalisasi
eksistensi alam semesta. Namun demikian, khilāfah ma’nawiyyah
menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus
kesadaran diri Tuhan, sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul
dan lestarinya alam semesta. Posisi demikian berlainan dengan khilāfah zāhiriyyah, yang
fungsinya tidak lebih dari melestarikan masyarakat dan negara, dengan
menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat.
Dengan demikian, tugas khilāfah zāhiriyyah ini merupakan penunjang tugas khilāfah ma’nawiyyah. Ini bukan berarti khilāfah zāhiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilāfah ma’nawiyyah.[23]
Kedudukan khalifah pertama kali ditempati
oleh Adam a.s. karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat
Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu (sebenarnya)
tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran
surat al-Baqarah: 30.
وَاِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى اْلاَرْضِ خَلِيْفَةًً قلى قاَلُوْا اَتَجْعَل فِيْهَا مَنْ يُفْسِدَ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءِ ج وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قلى قَالَ اِنِّيْ اَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesunggguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di
muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al- Baqarah: 30).[24]
Jadi, keunggulan Adam a.s. yang
menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah di sini bukan karena
kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat memanifestasikan asma dan
sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang
senantiasa berada dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang
jabatan khalifah, karena dirinya tidak mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu dari sifat dasar Tuhan: sifat jamāl (maha indah) ataupun sifat jalāl (maha perkasa). Hal demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jamāl, seperti kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jalāl,
seperti perkasa, menjatuhkan hukuman atas yang bersalah, dan bangga.
Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat bersujud
kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk
melakukan sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan
kafir.[25]
Alasan iblis tidak mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik
daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan Adam dari tanah.[26]
Iblis, kata Ibn ‘Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah al-wahmiyah),
sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut. Maka
ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia
tidak mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam
gaib yang rendah (al-malākūt as-sufliyah), yang pada mulanya
hidup bersama-sama malaikat-malaikat langit yang suci, tetapi tidak
dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi,
maka ia pun termasuk golongan kafir.[27]
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār),
ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Pengetahuan esoterik, pada dasarnya
identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri. Oleh karena itu orang yang
bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan
esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fanā’ dan baqā’. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya
dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian
berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah
mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan
qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai
dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke
dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi
dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[28] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb
(poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang
pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap
zaman. Qutb bisa pula disebut gaws (penolong), yang
termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua
orang imam yang bertugas sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula
empat orang awtād (pilar-pilar), yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtād itu berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari ka’bah. Selain itu, terdapat tujuh orang abdāl (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqabā’ (pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan orang nujabā’ (orang-orang yang mulia), hawāriyūn (para penolong), dan rajābiyūn (wali-wali yang hanya muncul pada bulan Rajab).[29]
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli
Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam
kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk
memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam
kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang
tidak pernah kering.
Kedudukan Norma dalam Insan Kamil
Taklif syarak merupakan norma-norma
keagamaan untuk menata kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan ini dilanggar
atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi
kekacauan dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan
merupakan wujud yang maha baik, yang menyukai kebaikan, dan ingin
menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan diri-Nya dengan
norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.[30]
Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi
harus mematuhi aturan-aturan formal keagamaan, yang bersumber dari
kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Pengetahuan dan
tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw.
merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika
seseorang memperoleh ilham, dia harus mempertimbangkannya lebih dahulu
atas kriteria kandungan Alquran dan sunnah; jika ilham yang diperolehnya
itu sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah, menandakan ilham yang
didapatnya itu datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi
kalau ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah dia
tidak boleh mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian
bersumber dari bisikan iblis yang menyusup ke dalam lubuk hatinya.[31]
Semakin tinggi martabat spiritual sufi
bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam suluknya. Jalan berliku
menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita malam
sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar
sampai yang halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan
setan kelas teri tentu diburu oleh setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh Abd al-Qadir al-Jilāny
melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang memanggil:
“Hai Abd al-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang
diharamkan! Dia menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari setan yang
dirajam, pergilah hai terkutuk! Padamlah cahaya terang itu, setan yang
mengaku tuhan itu berkata: “Engkau telah selamat dariku dengan hukum
Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat spiritual. Padahal
aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. “Dia
menjawab: “hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah.” Syekh
ditanya: “Dengan apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan?” Dia
menjawab: “Dengan ucapannya telah kuhalalkan, untukmu segala yang
diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya Allah tidak
memerintahkan dengan kejahatan.”[32]
Abu Bakar al-Makky berkata: “Para salik
(penempuh spiritual) harus melakukan syariah, thariqat, dan haqiqah.
Syari’ah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan
larangan-larangan yang dilarang Allah. Thariqah adalah melakukan dan
mengamalkan syariah. Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak
perbuatan adalah Allah. Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah
merupakan dimensi syariah dengan memandang perbuatan lahir yang
dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan
merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfanâ’kan daya upayanya dengan
menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan
kekuatan Allah.”[33]
Insan kamil sebagai manusia sempurna
tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan Allah. Tata laku lahir
berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Alquran
surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلَوةَ
وَيُؤْتُواالزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. al-Bayyinah: 5)[34]
Pada aspek fikih bersuci atau tahārah merupakan
syarat untuk melakukan berbagai ritual ibadah. Bisa dibayangkan apabila
tidak wudu, mandi wajib, apalagi jarang mandi karena menjalani “laku garingan”
tentu tubuh akan kotor, gatal dan ibadahpun menjadi tidak nyaman. Puasa
Ramadhan yang berupa kewajiban bagi orang-orang beriman juga memiliki
efek positif untuk kesehatan manusia. Demikian pula awāmir (perintah-perintah) lain selalu menyimpan kemaslahatan lahir batin manusia. Pada sisi lain nawāhy
(larangan-larangan) secara akurat merusak fisik, moral dan tatanan
sosial. Pencurian, korupsi, zina, penganiayaan terhadap makhluk hidup
dan perilaku melanggar norma yang lain tentu merusak tatanan individual
maupun kolektif.
[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 49.
[2] Ibid., h. 60.
[3] Ibid., h. 111.
[4] Ibid., h. 112.
[5] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006m h. 66.
[6] Yunasril Ali, op.cit., h. 56.
[7] Ibid., h. 119.
[8] Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya…, h. 435.
[9] Yunasril Ali, op.cit., h. 123.
[10] Departemen Agama RI, op.cit., h. 670.
[11] Yunasril Ali, op.cit., h. 61.
[12] Yunasril Ali, loc.cit.
[13] Ibid., h. 62.
[14] Ibid., h. 63.
[15] Ibid., h. 66.
[16] Ibid., h. 70.
[17] Yunasril Ali, loc.cit.
[18] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 180.
[19] Barwa Ahmad Tabanah, Muqadimah Ihya’ Ulumudin, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt, h. 37.
[20] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 185.
[21] Yunasril Ali, op.cit., h. 73.
[22] Ibid., h. 78.
[23] Ibid., h. 81.
[24] Departemen Agama RI, op.cit., h. 13.
[25] Q., s. al-Baqarah / 2: 34.
[26] Q., s. al-A’râf / 7: 12.
[27] Yunasril Ali, op.cit., h. 83.
[28] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002, h. 74.
[29] Yunasril Ali, op.cit., h. 93.
[30] Ibid., h. 97.
[31] Ibid., h. 167.
[32] Muslih Ibn Abd ar-Rahman, an-Nur al-Burhany, Semarang: Toha Putra, tt, h. 46.
[33] Abu Bakar al-Makky, Kifayah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Asfiyā’, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar