http://adrianirnandapratama.blogspot.com/
Posted by : ADRIAN IRNANDA PRATAMA
Sesungguhnya di antara hal yang membuat jiwa melantur dan mendorongnya kepada berbagai pertarungan yang merugikan dan syahwat yang tercela adalah panjang angan-angan dan lupa akan kematian. Oleh karena itu di antara hal yang dapat mengobati jiwa adalah mengingat kematian yang notabene merupakan konsekuensi dari kesadaran akan keniscayaan keputusan Ilahi, dan pendek angan-angan yang merupakan dampak dari mengingat kematian. Janganlah ada yang menyangka bahwa pendek angan-angan akan menghambat pemakmuran dunia. Persoalannya tidak demikian, bahkan memakmurkan dunia disertai pendek angan-angan justeru akan lebih dekat kepada ibadah, jika bukan ibadah yang murni.
Rasulullah SAW mengingatkan pada
kita tentang lima perkara sebelum datangnya lima perkara, dalam
hadistnya :
Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ
قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ
قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ
قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara
sebelum lima
perkara :
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz
Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini
dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Hadis Nabi tentang "lima perkara sebelum lima
perkara" itu memiliki maksud supaya kita mempergunakan waktu dan
kesempatan dengan sebaik-baiknya, sebelum hilangnya kesempatan tersebut.
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Hakim dalam kitab Al Mustadrok.
Lima perkara tersebut adalah sebagai berikut:
Manfaat mengingat kematian adalah:
- Membuat hati condong pada akhirat hingga berbuah ketaatan
- Mendorong kita untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datangnya.
- Memendekkan angan-angan untuk lama tinggal di dunia yang fana ini, kerana panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya kelalaian.
- Menjauhkan diri dari cinta dunia, dan qana’ah dengan yang sedikit, serta ridha dengan pembagian rezeki yang ditentukan Allah
- Meringankan seorang hamba dalam menghadapi ujian dunia, dengan menyadari bahwa hidup didunia ini hanya sementara, dan akhiratlah tempat kembali nanti, jadi segala macam kesulitan didunia ini, hanya sementara.
- Mencegah kerakusan dan ketamakan terhadap nikmat duniawi.
- Sebagai pendorong untuk bertaubat dan melakukan perbaikan terhadap kesalahan dan dosa dimasa lalu.
- Melembutkan hati, dan memberi semangat untuk mendalami agama dan menghapuskan keinginan hawa nafsu.
- Membuahkan sikap rendah hati (tawadhu’), tidak sombong, dan tidak berlaku zalim.
- Mendorong sikap toleransi, mema’afkan dan menerima kesalahan dan kelemahan orang lain.
- Ziarah kubur. Nabi SAW bersabda, ” Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian menziarahi kuburan, tetapi sekarang Muhammad telah memperoleh ijin untuk menziarahi kuburan ibunya, karena itu berziarahlah kalian; sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat. (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i, lafazh hadits ini menurut riwayat Tirmidzi)
- Melihat mayat ketika dimandikan.
- Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menuntun mereka dengan kalimat syahadat.
- Mengiringi jenazah, menshalatinya, serta ikut ke pemakaman, saat jenazah dimakamkan
- Membaca Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan sakratul maut
- obat dan Penyakit, kedua hal ini merupakan peringatan untuk kita.
- Fenomena alam yang dijadikan Allah SAW seperti gempa, gunung meletus, banjir, badai dan sebagainya. Semua untuk mengingatkan para hamba akan kematian
- Dunia itu racunnya dan zahid itu ubatnya.
- Harta itu racunnya dan zakat itu ubatnya.
- Perkataan yang sia-sia itu racunnya dan zikir Allah itu ubatnya.
- Seluruh umur itu racunnya dan taat itu ubatnya.
- Seluruh tahun itu racunnya dan Ramadan itu ubatnya.
Akan datang kasih mereka lima perkara dan lupa mereka lima perkara:
- Kasih mereka kepada hidup — lupa mereka kepada mati.
- Kasih mereka kepada harta — lupa mereka kepada hisab.
- Kasih mereka kepada mahligai — lupa mereka kepada kubur.
- Kasih mereka kepada dunia — lupa mereka kepada akhirat.
- Kasih mereka kepada makhluk — lupa mereka kepada Allah.
- hartanya untuk warisnya.
- nyawanya untuk Malaikal Maut.
- dagingnya untuk ulat-ulat.
- tulangnya untuk tanah.
- amalan dan kebajikannya untuk orang yang dianayainya. ,
- Hai anak Adam, adakah engkau tinggal dunia atau dunia tinggalkan engkau?
- Hai anak Adam, adakah engkau himpun dunia atau dunia himpunkan engkau?
- Hai anak Adam, adakah engkau bunuh dunia atau dunia bunuhkan engkau?
- Hai anak Adam, di manakah badan engkau yang kuat mengapa jadi lemah?
- Hai anak Adam, di manakah lidah engkau yang pitah bercakap mengapa diam?
- hai anak adam di manakah kekasih engkau mengapakah jadi mulia rakan engkau?
- Hai anak Adam, engkau herjalan kepada perjalan yang jauh dengan tidak berbekal?
- Hai anak Adam, engkau keluar dari rumah tiada akan engkau kembali selama-lamanya?
- Hai anak Adam, engkau tinggal segala kenderaan maka tiada engkau kenderai selama-lamanya? dan engkau berpindah kepada negeri yang huru hara!
- Hai anak Adam amat beruntunglah (bahagialah) kamu jika kamu menjadi seorang yang bertaubat.
- Hai anak Adam amat beruntunglah (bahagialah) kamu jika amal mu baik.
- Hai anak Adam amat beruntuglah (bahagialah) kamu jika sahabat mu dalam keredaan Allah — dan amat rugilah (celakalah) kamu jika sahabat mu orang yang dimurkai Allah.
- Wahai anak Adam segala amal mu yang telah kamu lakukan akan kamu lihat.
- Wahai anak Adam, jika amal mu itu baik kamu akan lihat baik.
- Wahai anak Adam, jika amal mu itu buruk maka kamu kan lihat buruk.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja
untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi)Semoga Allah SWT menutup akhir hayat kita dengan Husnul Khatimah dan menerima semua amal shalih kita. Ya Allah yang Maha Menghidupkan dan yang Maha Mematikan, akhirilah hidup (wafatkanlah) kami dalam keadaan husnul khâtimah. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keadaan sû’ul khâtimah, amin.
Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kamu menangis dan meratapi diri-diri kamu dalam hidup kamu yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,
‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’
Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ
اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling
baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang
cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”
Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)
Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal.
Ibarat ungkapan penyair:
Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut
Hatiku keras bak sebongkah batu
Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ
“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang kerana tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ
فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)
Apabila kematian menimpa sahabat kita, kita akan tersedar sejenak dan ia memberi kesedaran kepada kita yang dunia ini hanya sementara. Semakin kita kejar, semakin dunia melarikan dari kita. Akhirat yang abadi.
Malangnya, kemudian kita terleka kembali dengan dunia.
Persiapan untuk menghadapi sesuatu tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mengingatnya di dalam hati, sedangkan untuk selalu mengingat di dalam hati tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mendangarkan hal-hal yang mengingatkannya dan memperhatikan peringatan-peringatannya sehingga hal itu menjadi dorongan untuk mempersiapkan diri. Kepergian untuk menyambut kehidupan setelah kematian telah dekat masanya sementara umur yang tersisa sangat sedikit dan manusiapun melalaikannya.
اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang
mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS Al-Anbiya 1)Orang yang tenggelam dengan dunia, gandrung kepada tipu-dayanya dan mencintai syahwatnya tak ayal lagi adalah orang yang hatinya lalai dari mengingat kematian; ia tidak mengingatnya bahkan apabila diingatkan ia tak suka dan menghindarinya. Mereka itulah yang disebutkan Allah di dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ
مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al-Jumu’ah 8)Kemudian manusia ada yang tenggelam ke dalam dunia, ada pula yang bertaubat dan ada pula yang arif.
Pertama: adapun orang yang tenggelam ke dalam dunia, ia tidak mengingat kematian sama sekali. Jika diingatkan ia mengingat semata-mata untuk menyesali dunianya dan sibuk mencelanya. Baginya, mengingat kematian hanya membuat dirinya semakin jauh dari Allah.
Kedua: Adapun orang yang bertaubat, ia banyak mengingat kematian untuk membangkitkan rasa takut dan khawatir pada hatinya lalu ia menyempurnakan taubat dan kadang-kadang tidak menyukai kematian karena takut disergap sebelum terwujud kesempurnaan taubat dan memperbaiki bekal. Dalam hal ini ia dimaafkan dan tidak tergolong ke dalam sabda Nabi saw:
مَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
“Barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah membenci
pertemuan dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim)Karena sesungguhnya ia tidak membenci kematian dan perjumpaan dengan Allah, tetapi hanya takut tidak dapat berjumpa dengan Allah karena berbagai kekurangan dan keteledorannya. Ia seperti orang yang memperlambat pertemuan dengan kekasihnya karena sibuk mempersiapkan diri untuk menemuinya dalam keadaan yang diridhainya sehingga tidak dianggap membenci pertemuan. Sebagai buktinya ia selalu siap untuk menemuinya dan tidak ada kesibukan selainnya. Jika tidak demikian maka ia termasuk orang yang tenggelam ke dalam dunia.
Ketiga: Sedangkan orang yang ‘arif, ia selalu ingat kematian karena kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pecinta tidak akan pernah lupa sama sekali akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Pada ghalibnya orang ini menganggap lambat datangnya kematian dan mencintai kedatangannya untuk membebaskan diri dari kampung orang-orang yang bermaksiat dan segera berpindah ke sisi Tuhan alam semesta. Sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ketika menghadapi kematian, ia berkata:
“Kekasih datang dalam kemiskinan, semoga tidak berbahagia orang yang menyesal. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa kemiskinan lebih aku cintai dari kekayaan, sakit lebih aku cintai dari kesehatan, dan kematian lebih aku cintai dari kehidupan, maka permudahlah kematian atas diriku agar segera dapat berjumpa dengan-Mu”
Jadi, orang yang bertaubat dimaafkan dari sikap tidak menyukai kematian sedangkan orang yang ‘arif dimaafkan dari tindakan mencintai dan mengharapkan kematian. Tingkatan yang lebih tinggi dari keduanya ialah orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah sehingga ia tidak memilih kematian atau kehidupan untuk dirinya. Apa yang paling dicintai adalah apa yang paling dicintai kekasihnya. Orang ini melalui cinta dan wala’ yang mendalam berhasil mencapai maqam taslim dan ridha, yang merupakan puncak tujuan. Tetapi bagaimanapun, mengingat kematian tetap memberikan pahala dan keutamaan. Karena orang yang tenggelam ke dalam dunia juga bisa memanfaatkan dzikrul maut untuk mengambil jarak dari dunia sebab dzikrul maut itu membuat dirinya kurang berselera kepada kehidupan dunia dan mengeruhkan kemurnian kelezatannya. Setiap hal yang dapat mengeruhkan kelezatan dan syahwat manusia adalah termasuk sebab keselamatan. Rasulullah saw bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ
“Perbanyaklah mengingat penghancur berbagai kelezatan, yaitu kematian.”(HR Tirmidzi, Nasaa’I dan Ibnu Majah)
Artinya, kurangilah berbagai kelezatan dengan mengingat kematian sehingga kegandrungan kamu kepada berbagai kelezatanterputus lalu kamu berkonsentrasi kepada Allah, karena mengingat kematian dapat menghindarkan diri dari kampung tipudaya dan menggiatkan persiapan untuk kehidupan akhirat, sedangkan lalai akan kematian mangakibatkan tenggelam dalam syahwat dunia, sabda Nabi saw:
تحفة المؤمن الموت
“Hadiah orang mu’min adalah kematian.” (HR Thabrani dan al-Hakim)Nabi saw menegaskan hal ini karena dunia adalah penjara orang mu’min, sebab ia senantiasa berada di dunia dalam keadaan susah mengendalikan dirinya, menempa syahwatnya dan melawan syetannya. Dengan demikian, kematian baginya adalah pembebasan dari siksa ini, dan pembebasan tersebut merupakan hadiah bagi dirinya. Nabi saw bersabda:
الموت كفارة لكل مسلم
“Kematian adalah kafarat bagi setiap muslim.” (HR al-Baihaqi)Yang dimaksudnya adalah orang muslim sejati yang orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, yang merealisasikan akhlaq orang-orang mu’min, tidak terkotori oleh berbagai kemaksiatan kecuali beberapa dosa kecil, sebab kematian akan membersihkannya dari dosa-dosa kecil tersebut setelah ia menjauhi dosa-dosa besar dan menunaikan berbagai kewajiban. Sebagian kaum bijak bestari menulis surat kepada salah seorang kawannya:
“Wahai saudaraku hati-hatilah terhadap kematian di kampung ini sebelum kamu berada di sebuah kampung di mana kamu berharap kematian tetapi tidak akan mendapatkannya.”
Hidup di dunia ini
tidaklah selamanya. Akan datang
masanya kita berpisah dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat
kematian menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena
Ar-Rahman telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ
ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا
تُرْجَعُونَ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan
Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian),
dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.”
(Al-Anbiya`: 35)
أَيْنَمَا تَكُونُوا
يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan
mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi
kokoh.” (An-Nisa`: 78)
Kematian akan menyapa siapa
pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka, seorang yang turun ke medan
perang ataupun duduk diam di rumahnya, seorang yang menginginkan negeri akhirat
yang kekal ataupun ingin dunia yang fana, seorang yang bersemangat meraih
kebaikan ataupun yang lalai dan malas-malasan. Semuanya akan menemui kematian
bila telah sampai ajalnya, karena memang:
كُلُّ مَنْ
عَلَيْهَا فَانٍ
“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).”
(Ar-Rahman: 26)
Mengingat mati akan
melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk banyak
mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya
yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ
هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan
(yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no.
1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang
hadits ini, “Hasan shahih.”)
Dalam hadits di atas ada
beberapa faedah:
- Disunnahkannya setiap
muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat mati dengan hati
dan lisannya, serta memperbanyak mengingatnya hingga seakan-akan kematian di
depan matanya. Karena dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang
dari berbuat maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.
- Mengingat mati di
kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika
dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan
begitu ia selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin,
1/634)
Ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan
(kematian).” Namun padanya terkumpul peringatan dan sangat mengena
sebagai nasihat, karena orang yang benar-benar mengingat mati akan merasa tiada
berartinya kelezatan dunia yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya
untuk berangan-angan meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan
bersikap zuhud terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati
yang lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang panjang,
walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ
هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian
mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”
disertai firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
كُلُّ نَفْسٍ
ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,”
sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat. Alangkah bagusnya ucapan
orang yang berkata:
اذْكُرِ الْمَوْتَ
تَجِدُ رَاحَةً، فِي إِذْكَارِ الْمَوْتِ تَقْصِيْرُ اْلأَمَلِ
“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan,
dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”
Adalah Yazid Ar-Raqasyi
rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat
untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah
yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai
sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam
hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang
kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang
ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada
hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid
menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)
Sungguh, hanya orang-orang
cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati.
Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan
Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau
menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling
cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ
لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ
أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling
baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang
cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata,
‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara:
bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam
beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga
perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam
beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan
dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya.
Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus
kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau
memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari
tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)
Bayangkanlah saat-saat
sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di sisimu. Ibu yang
penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang besar maupun yang kecil.
Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu dengan pandangan kasih sayang dan
penuh kasihan. Air mata mereka tak henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka.
Hati mereka pun berselimut duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan,
andai engkau bisa tetap tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan
mustahil ada seorang makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan
ruhmu. Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang
mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia
berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan.
Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati
seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada
berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”
Adalah ‘Umar bin Abdil
‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor
burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan
kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan
di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)
Tentunya tangis mereka
diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan
manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk
meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu
bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan
penyair:
Aku tahu aku kan mati namun aku tak
takut
Hatiku keras bak sebongkah
batu
Aku mencari dunia
seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian
mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian
telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.
فَإِذَا جَاءَ
أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah
ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak
pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)
وَلَنْ يُؤَخِّرَ
اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan
kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.”
(Al-Munafiqun: 11)
Wahai betapa meruginya
seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah
engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah
peringatan Rabbmu:
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ
“Dan hendaklah setiap
jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan
lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai
bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.”
(Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi
orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu
engkau berharap penangguhan.
وَأَنْفِقُوا مِنْ
مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ
رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ
الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk
bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.”
(Al-Munafiqun: 10)
Karenanya, berbekallah!
Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar