Sabtu, 02 Agustus 2014

ALLAH dan MANUSIA (KONSEP MENGENAL DIRI DALAM ISLAM)

ILMU MENGENAL "DIRI"





PENGENALAN

Kebanyakkan manusia pada hari ini menganggap bahawa "Hidup" itu hanyalah makan, bergerak, mencari kemewahan, bekerja dan lain lain lagi, mereka mengangap bahawa jasad kasar mereka itu hidup dengan sendiri nya yang membolehkan mereka melakukan kerja kerja harian mereka itu, tapi pernah kah mereka terfikir bahawa jasad mereka itu sebenar nya ialah benda mati yang tidak dapat hidup dan bergerak dengan sendiri nya tanpa ada sesuatu yang menghidupkan nya?

Ketahuilah tanpa yang hidup itu jasad tidak ada erti nya. Tetapi benda mati ini lah yang dijaga dan diutamakan orang di dunia ini. Sedangkan semua tahu bila mati kelak, jasad akan busuk dan di tanam atau di bakar. Ini menunjukkan mati ialah bila hidup yang menghidupkan jasad tadi meninggalakan jasad.

Dimanakah letaknya yang di panggil hidup itu? Yang mana dengan adanya yang hidup itu lah jasad kita ini hidup dan sebenarnya ia diam di dalam jasad kita sendiri, dan dia lah yang di panggil "DIRI" sebenar "DIRI" dan menghidupkan jasad kita ini. Tapi pernah kah kita terfikir tentang "DIRI" itu atau cuba mencari dan mengenal nya.

Tentu nya soal yang akan timbul ialah dari mana "DIRI" itu, dimana letaknya "DIRI" itu, terdiri dari apakah "DIRI" itu, dan kemanakah perginya "DIRI" itu apabila jasad mati atau dengan lain perkataan "DIRI" meninggalkan jasad??? dan yang penting sekali bolehkah kita mengenal "DIRI" sebenar "DIRI" kita itu.

BARANG SIAPA MENGENAL "DIRI" NESCAYA KENAL LAH IA AKAN TUHAN NYA

Benarkah bila kita mengenal "DIRI" maka kita akan mengenal Tuhan ??

Kita semua tahu bahawa ujud nya roh! Tak ada sesiapa yang dapat menafikan kenyataan ini, Kerana semasa Tuhan bertanya kepada sekelian Roh " siapa kah Tuhan kamu " dengan sepontan sekelian Roh menjawab " bahkan " yang membawa makna mereka telah pun mengenal Tuhan yang esa.:

Kisah Roh memasukki jasad Adam

Setelah jasad Adam terbaring maka Tuhan telah memerintahkan Roh memasukki ke jasad Adam, tetapi sebelum itu Roh telah bertanya " dimanakah harus aku masukki, ya ALLAH " dan ALLAH pun menjawab " masuk lah mana mana yang kamu senangi " Maka masuk lah Roh melalui hidung dan dengan itu maka bernafaslah kita melalui hidung.

Ini menunjukkan bahawa sesudah Roh memasukki badan, maka barulah bermulanya kehidupan kepada jasad dan terbukti di sini bahawa Roh lah yang dikatakan penghidup kepada jasad, dan mati pada jasad ialah apabila Roh keluar apabila sampai ajal nya.

Jasad kasar kita ini terdiri dari 2 yaitu:
1. Dihidupkan
Apakah maksud dihidupkan dan bahagian mana? Yang dihidupkan ialah Jasad kasar kita ini, ia nya di hidupkan oleh ""Roh"" yang berada di dalam Jasad. "Roh" memasukki jasad semasa kita 100 hari dalam rahim ibu kita. "Aku tiupkan sebagian dari roh ku" kata firman Allah. Sejak itu lah kita hidup di dalam rahim ibu kita dan kemudian di lahirkan kedunia dan terus menjalankan kehidupan dari bayi hingga lah akhir hayat.

2. Menghidupkan

Yang menghidupkan ialah roh, yang datangnya (diciptakan) dari Allah, yang memasuki jasad dan terus hidup, tugas roh ialah menghidupkan jasad tetapi sayang nya jasad tidak langsung terfikir bahawa roh lah yang hidup sebenar benar hidup dan menghidupkan jasad yang bila mana roh meninggalkan nya maka matilah dia di panggil orang dan di tanam atau di bakar.

MATI IALAH APABILA ROH MENINGGALKAN JASAD

Jadi siapakan yang berkepentingan disini, tentunya jasad kerana tanpa roh maka jasad tidak bermaana langsung.

Jasad perlukan roh untuk hidup tapi kenapa roh tidak dipedulikan semasa hidup nya

Perlukah roh di kenali?

Sebelum mengenal Roh haruslah kita mengenal "DIRI"

"BARANG SIAPA MENGENAL "DIRI" MAKA KENALLAH DIA AKAN TUHAN NYA"

APA KAH "DIRI" ITU"

Untuk pengetahuan semua bahawa "DIRI" itu mendatang kemudian setelah roh memasukki jasad, bagaimana ini berlaku?

Apabila Roh berada di dalam Jasad maka perkembangan cahaya Roh itu yang memenuhi dalaman Jasad keseluruhan nya, ini telah menyebabkan ujudnya "Diri" yang berupa saperti jasad nya memenuhi ruang dalaman jasad nya..

Maka ujudlah "Diri" sebenar "Diri" dan "DIRI" ini lah yang harus di kenal.

(kenal lah diri maka kenal tuhan)

BAGAIMANA MENGENAL "DIRI" SEBENAR "DIRI"

Ada berbagai cara dan kaedah digunakan untuk mengenal "DIRI" ini, bergantung kepada perguruan dan kaedah guru guru mengajar kepada murid murid nya. Semua perguruan ini betul dan cara apa sekali pun di gunakan, tujuan nya satu ya itu untuk mengenal "DIRI" sebenar "DIRI" .

Untuk mengenal "DIRI" ini ada 3 cara:

Terbuka dengan sendiri nya
Ushakan sendiri untuk membukanya
Dibukan oleh guru. (guru guru yang berpengalaman)

Apakah yang di maksudkan “dibuka”

Di buka maksudnya ialah membukakan jalan jalan pancaran cahaya "DIRI" itu hingga keluar dari jasad dan terpancarlah cahaya "DIRI" itu keluar dari jasad melalui jalan jalan nya dan dengan rasa yang bergetar getar pada jalan keluar nya, rasa ini dapat dirasakan dengan nyata oleh murid murid yang mempelajari ilmu ini.

Ini lah rahsia hidup kita dan "DIRI" ini lah yang menghidupkan jasad selagi ada hayatnya di dunia ini, "DIRI" ini harus di kenal dan dirasai sepenuh nya oleh kita, kerana ia mengandungi banyak rahsia dan serba guna, di dunia dan akhirat, Insyaallah.

Kenal kah "DIRI" tadi kepada Tuhan nya? Sudah tentu kerana dia datang dari sana, dari MAHA pencipta dan MAHA besar.

Banyak lag persoalan yang akan timbul apabila kita dapat mengenal "DIRI" kita yang sebenar benar "DIRI" ini, kita harus belajar dari "DIRI" ini:

Dia mengetahui kerana dia datang dari yang MAHA mengetahui

Dia bijak kerana datang dari yang MAHA bijaksana

Dia lah sebaik baik Guru

Kehidupan sebenar ialah di dalam, dan kehidupan dunia ini mendatang kemudian

Kesimpulan nya kenali lah "DIRI" kita ini yang dia lah sebenar benar "DIRI" dan kemukakan lah dia dalam segala urusan kita di dunia ini sementara menunggu hari yang kekal abadi, kerana dia kekal kerana di kekalkan.

Ilmu Mengenal "DIRI" ialah satu ilmu pengetahuan yang harus di ketahui oleh semua orang kerana tiap tiap maanusia membawanya di dalam jasad kasar mereka, harus kah penghidup jasad kita ini kita biarkan begitu saja tanpa mengenali dan merasakan nya, hanya semasa maut hampir datang menjemput baru kita sedar yang dia akan meninggalkan kita?????

MA’RIFAT HAMBA ALLAH (TAUHID)

Allah berfirman,

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia (QS 2:163)”
“Tuhan kamu adalah Tuhan yang maha Esa (QS 16:22)”
“Katakanlah: Dialah Yang maha Esa (QS 112:1)”.
Itulah beberapa mutiara tauhid yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an
sebagai pentauhidan akan ke-Esa-an Diri-Nya. Maka secara harfiah, tauhid
adalah Mengesakan Tuhan.
Al Ghazali dalam kitab
Raudhah Al-Thalibin Wa Umdah Al-Salikin (16)

mengartikan
tauhid sebagai menyucikan
Al-Qidam
dari sifat
al-huduts
(baru), menjauhkannya
dari segala sesuatu yang baru, sehingga seseorang tidak kuasa melihat dirinya
bernilai lebih terhadap yang lainnya. Artinya, dirinya menjadi tiada atau fana.
Sebab bila dia melihat kepada dirinya sendiri atau orang lain disaat dia berada
dalam kondisi mentauhidkan Al-Haqq

, maka akan terjadi dualisme, dan itu berarti
tidak mengesakan terhadap Dzat-Nya yang
qadim
, yang memiliki sifat Esa dan
Tunggal (disinilah Iblis tertipu sehingga menolak perintah Allah). Keesaan
sebagai Yang Tunggal sebagai makna tauhid pada hakikatnya berkaitan erat
dengan pengenalan yang baru (semua makhluk) terhadap yang
qidam
. Maka
dalam siklus
makrifatullah
tak pernah berhenti, tauhid merupakan ujung dari
makrifat dari yang menyaksikan, ia dikatakan rahasia dan ruh dari makrifat.
Namun, tauhid juga merupakan awal dari
makrifatullah
, karena di ujung
perjalanan makrifat si pencari (salik) akan mengalami penyaksiannya di awal
mula sebelum ia menjadi dirinya (sebelum ruhnya ditiupkan ke dalam jasad) (QS
7:172).

Dengan demikian menjadi jelas bahwa ketika seseorang mencapai suatu
totalitas tauhid yang benar berupa penyaksian akan Allah sebagai Tuhan Yang
Esa, tidak ada pengakuan bahwa dirinya telah sampai, karena pengakuan akan
menyebabkan suatu bencana baik bagi dirinya yang diliputi kesombongan diri,
atau hanya sekedar ilusi yang menipu dirinya sendiri. Dalam banyak aspek,
pengungkapan makrifat dimungkinkan apa adanya, seperti Nabi Muhammad
SAW menceritakan Isra & Mi’rajnya, sebagai suatu
dzauqi
atau citarasa ruhaniah
penyaksian hakiki sehingga darinya akan muncul berbagai pengungkapan
lahiriah berupa puisi, prosa, dan bentuk-bentuk pengungkapan lainnya. Ada yang
boleh disiarkan sebagai suatu berita kenikmatan yang memang harus ditebarkan
sebagai sebuah rahmat, ada juga yang harus disembunyikan karena bisa
menimbulkan fitnah baik bagi dirinya, para munafik dan ateis, maupun orang
yang mengikutinya dengan kebodohan dan tanpa ilmu sehingga yang muncul
dari pengikut yang bodoh adalah pengakuan-pengakuan palsu.
6.10.1 Pengertian Tauhid
Menurut Al-Qusyairy an-Naisabury, “Risalatul Qusyairiyah”
[10]

, Tauhid adalah

suatu hukum bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Esa, dan mengetahui
bahwa sesuatu itu satu bisa dikatakan tauhid juga. Sehingga, menauhidkan
sesuatu yang satu merupakan bagian dari keimanan terhadap yang satu itu.
Makna eksistensi Allah SWT sebagai Yang Esa adalah suatu penyifatan yang
didasarkan ilmu pengetahuan. Dikatakannya bahwa Allah SWT adalah
Ketunggalan Dzat, sehingga “
Dia Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan penghilangan.

” Selanjutnya banyak ahli hakikat

yang mengatakan bahwa Allah SWT itu Esa adalah penafian segala
pembagian terhadap dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan
Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi
dan Cipta-Nya.
Hujwiri dalam “Kasyf al-Mahjub”

dan Al Qusyairy

dalam kitab Risalahnya,
membagi pengertian tauhid menjadi tiga kategori yaitu :


Tauhid Allah SWT oleh Allah SWT, yaitu ilmu dan pengetahuan-Nya
bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa.

Tauhid Allah SWT oleh makhluk, yaitu ketentuan-Nya bahwa makhluk
adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut
tauhidnya hamba dan penegasan tauhid ada dalam hatinya.

Tauhid Allah SWT oleh manusia yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah
SWT Yang maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa.
Pada tauhid yang pertama, maka ketauhidan-Nya hanya dapat terpahami oleh
ilmu dan pengetahuan-Nya, dimana Yang Memahami ketauhidan Allah oleh Allah
adalah Allah sendiri atau penetapan-Nya pada makhluk pilihan-Nya Sendiri.
Dalam hal ini yang mendapat kemuliaan itu adalah Nabi Muhammad SAW
dimana beliau dapat memperoleh kekuatan dan memperlihatkan eksistensi Allah
dari luar non-eksistensinya pada saat peristiwa Mi’raj. Sehingga, Yang Ada
adalah Allah semata. Dalam pengertian demikian, makhluk yang mengetahui
berdasarkan pengetahuan-Nya hanya mampu sekedar berkata bahwa “
aku
mengenal Allah dengan Allah
” dengan tabir sebagai suatu sifat
ar-Rububiyyah
.
Hakikatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat tersebut adalah ujung dari
Ma’rifat al-Haqq
, dalam batas-batas yang
sangat dekat (
Qabaa Qausaini
atau lebih dekat lagi), tetapi bukan merupakan
Ma’rifat Dzat
Allah karena hanya Dialah yang dapat menauhidkan-Nya.
Meminjam istilah Ibnu Arabi, maka tauhid yang pertama bisa dikatakan sebagai
al-Hirah al-Ilahiyah
atau
Kebingungan Ilahiyah
yang dialami makhluk setelah
mencapai maqam tertinggi yaitu Mi’raj Nabi SAW. Dan hanya Nabi Muhammad
SAW lah yang berhak mengatakan dengan penyaksian utuh “
aku mengenal
Allah dengan Allah
”. Para sahabat, wali, dan kaum arifin sesudahnya berada di
bawah maqam nabi SAW tersebut, sehingga dalam sabdanya Nabi Muhammad
SAW berkata “
Saya bersama Allah dimana tidak seorangpun dari malaikat atau
nabi bisa berada bersama saya.
” Tauhid Allah oleh Allah karena itu dikatakan

Yang Ada hanyalah Dia
”. Dan bagi mereka yang mengikuti jejak Nabi

Muhammad SAW maka mereka mentauhidkan melalui dirinya karena tanpa “
Nur
Muhammad dan Muhammad SAW
” semua makhluk akan musnah. Secara
eksak, hal ini berarti bahwa tanpa “
Nur Muhammad dan Muhammad SAW

semua makhluk tidak pernah diciptakan oleh Allah SWT. Inilah makna awal dan
akhir dari esensi penciptaan melalui firman “Basmalah” dan “Kun” yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai “Yang Petama Kali”
diciptakan dan yang “Yang Paling Akhir” dimunculkan, yang “Lahir sebagai Nabi
Muhammad SAW hamba Allah” dan “Yang Batin sebagai Nur Muhammad”
(penyisipan kata sambung “dan” harus dipahami dengan logika kuantum yang
tidak terbedakan, Lihat juga QS al-Hadiiid ayat 3).
Pada tauhid yang kedua, maka Tauhid-Nya Allah oleh makhluk adalah suatu
penghambaan mutlak dari semua makhluk yang eksis setelah kehendak “
Kun Fa
Yakuun
”. Maka, pentauhidan yang muncul adalah suatu ketentuan baik yang
berupa penetapan-penetapan, sunnatullah yang pasti dan tidak pasti, puja-puji,
dan tasbih semua makhluk dari maujud yang paling elementer sampai maujud
yang nyata membangun relativitas dari yang baru (dari makhluk), dari
nanokosmos ke makrokosmos, dari
‘alam al-mulk
sampai
‘alam

al-jabarut
.
Penegasan tauhid yang terdapat dalam semua makhluk, karena itu adalah
penegasan dalam hati, sebagai suatu hakikat paling elementer dan halus bahwa
semua makhluk mengada semata-mata karena curahan rahmat dan kasih
sayang-Nya semata. Pada tauhid kedua ini, Abu Bakar As Shiddiq r.a.
mengatakan bahwa tauhid adalah perbuatan Ilahi dalam hati makhluk-Nya. Maka
dikatakan bahwa pentauhidan Allah SWT oleh makhluk adalah pentauhidan dari
ciptaan-Nya, atau yang diciptakan-Nya dengan kehendak firman “
kun fa yakuun
”.
Jadi tauhid kedua adalah tauhid semua alam semesta (al-Aalamin) beserta
semua isinya, yang memuja dan memuji hanya kepada Penciptanya, juga karena
Dialah Allah yang Maha Memelihara (QS 1:2), maka tiada Tuhan selain DiriNya.
Disini semua makhluk harus menauhidkan Allah SWT dengan secara total
menafikan eksistensi dirinya sendiri sebagai maujud, sehingga makhluk harus
mengatakan “
Tidak ada Tuhan Selain Allah (Laa ilaaha illaa Allaah)


Tauhid yang ketiga adalah Tauhid Allah oleh manusia melalui pengetahuan-Nya
yang dianugerahkan kepada manusia berupa akal pikiran dan kehendak bebas
untuk memilah dan memilih. Pentauhidan Allah SWT oleh manusia adalah
pentauhidan untuk makhluk yang menyaksikan pertamakali dan makhluk yang
disempurnakan sebagai Insan kamil. Maka, manusia yang menauhidkan Tuhan
sebagai Yang Esa adalah ia yang melakukan pencarian atau dianugerahi
makrifat pengenalan secara langsung. Pencarian adalah wasiat Allah yang
ditauhidkannya, maka ia yang mencari adalah ia yang akan berjalan dari awal
dan sampai ke awal kembali. Ia yang mampu memecahkan rahasia eksistensi
dirinya melalui dirinya sendiri untuk kemudian mengenal Dia yang
ditauhidkannya. Inilah tauhid yang identik dengan pengertian “
Man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu
”. Tauhid demikian adalah tauhidnya hamba Allah
yang mesti menegaskan ketauhidan Allah SWT melalui profil manusia yang
paling disempurnakan yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah dan
Kekasih Allah. Maka tauhid manusia seperti ini adalah “
Tidak ada Tuhan Selain
Allah, dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah (Laa ilaaha illaa Allaah,
Muhammadurrasulullah)”
Dan dengan demikian, bagi manusia dan semua
makhluk-Nya maka tauhid ketiga adalah tauhid Yang Awal dan juga tauhid Yang
Akhir (QS 57:3), yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Tanpa melalui
penauhidan ketiga ini, maka tauhid manusia (dan jin) menjadi tidak sempurna.
Kendati seseorang dapat memulai dari ketauhidan kedua, yakni Tauhid Allah
oleh makhluk sebagai makhluk elementer, namun tauhid kedua adalah tauhid
bagi makhluk non sintesis yang berjalan dengan berjalannya sang waktu sebagai
suatu
qadā
. Maka ia yang tidak memulai dari tauhid ketiga hanya mendapat
sekedar pengampunan, karena Tauhid kedua adalah tauhidnya manusia pertama
yaitu Nabi Adam a.s. Dan pengampunan, seperti halnya ampunan yang
dianugerahkan kepada Adam dan Hawa sebagai suatu hidayah untuk mereka
dan anak cucunya, tidak lebih dari awal mula perjalanan makrifat manusia, yaitu
awal mula dari manusia pertama menyadari kesadaran diri yang teosentris
bahwa ada Tuhan Yang Esa. Rasululllah SAW bersabda :

“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali
tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang itu berwasiat
kepada keluarganya,’Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkan diriku,
kemudian taburkan separuh tubuhku di darat dan separuhnya di laut pada saat
angin kencang.’ Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah
SWT berfirman kepada angin,’Kemarikan apa yang kamu ambil.’ Tiba-tiba orang
tersebut sudah berada disisi-Nya. Kemudian Allah SWT bertanya kepada orang
tersebut,’Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia
menjawab,’Karena malu pada-Mu.’ Kemudian Allah SWT mengampuninya.” (HR Bukhari)

Tauhid ketiga sebenarnya ekor yang memutar kearah kepala, jadi tauhid ketiga
yaitu Tauhid Allah oleh manusia adalah suatu kewajiban bagi semua manusia
dan jin, suatu lingkaran perjalanan yang menutup dimana awal dan akhir
bertemu, yaitu tauhid Allah oleh Allah dan tauhid Allah oleh manusia yang
menyambung tanpa kelim (tanpa kelihatan sambungannya, tetapi tahu bahwa
disitulah sambungannya, seperti pita mobius yang memelintir saling memunggungi),
atau katakanlah suatu sambungan yang saling memunggungi.
Maka menjadi jelas bahwa dalam tauhid ketiga, antara manusia yang
menauhidkan dan Allah yang ditauhidkan saling memunggungi, dan diantara
keduanya adalah alam semesta sebagai wadah pembelajaran bagi makhluk
yang disempurnakan yaitu manusia sebagai hamba Allah


“Kesejatian Diri” dua kata yang seringkali membuat orang kurang paham dengan kata-kata itu, siapa, mengapa dan bagaimana sesungguhnya dirinya. Dalam Proses pencarian siapa diri kita ini meski terlihat sederhana, ternya dibutuhkan bermacam perjuangan dan ujian sampai kita benar-benar tahu dan mengerti apa dan bagaimana diri kita sesungguhnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita dihadapkan pada sesuatu yang kurang nyaman menurut kita, oleh karena keterbatasan kuasa serta keterbatasan posisi kita, akhirnya kita menuruti apa yang sebenarnya ada penolakan pada diri kita. Mengikuti atau menuruti sesuatu hal yang bertentangan pada diri kita adalah suatu ujian yang berat, karena disini kita akan menjadi sosok yang bermuka dua.
Dari kejadian diatas, satu bisa kita tarik hikmahnya dan bisa sbagai perbendaharaan dalam tahap mencari Kesejatian diri, bahwa sebenarnya diri kita tidak seperti yang kita lakukan tadi. Dari berbagai macam aktivitas yang ada penolakan pada diri kita, itulah yang sesungguhnya dapat membangun dan menemukan siapa dan bagaimana diri kita. Berjalannya waktu, lambat laun proses pencarian “Kesejatian Diri” akan kita temukan…
MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH

MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari


عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).

Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).

FIQIH HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH (TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN PERTOLONGAN ALLAH)

Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?

Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan shalat,

"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". [al-Fâtihah/1:5].

Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:


اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
"Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu" [1].

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.

FIQIH HADITS (5) : BERANI MENGATAKAN KEBENARAN MESKIPUN PAHIT

Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.

Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang keharamannya.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.


أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim". [2]

Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.

Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya"[3].


Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar